HUKUM MENIKAH DENGAN JIN
Hukum Menikah Dengan JIN
Dalam literatur klasik (fiqh) madzhab syafi’i, hukum perkawinan antara manusia dengan jin masih menjadi perdebatan antar ulama. Sebagian ulama menyatakan pernikahan jin dan manusia tidak sah, mereka berpendapat bahwa perbedaan jenis(dalam arti jenis manusia dan jenis yang lain) menjadi pertimbangan keabsahan sebuah pernikahan. Ini merupakan pendapat dari al-‘Imad bin Yunus yang difatwakan oleh Izzuddin bin Abdissalam dan al-Barizy, Yang kemudian di dukung oleh Ahmad bin Hajar al-Haitamy. Sayangnya, pendapat ini merupakan pendapat yang lemah. beberapa tendensi yang mereka gunakan di antaranya;
Pertama, ayat :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً إلخ َ
“Allah menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari pasangan-pasangan kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu…….” (Qs : an-Nahl ayat 72)
Dan ayat :
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Qs : ar-Rum ayat 21)
Dari kedua ayat ini mereka menyimpulkan bahwa pasangan itu harus dari jenis yang sama. Namun, kesimpulan ini kurang tepat jika digunakan untuk tendensi pembahasan pernikahan antar jenis manusia dan jin. karena, meskipun kedua ayat tersebut menyatakan pasangan itu dari jenis yang sama, akan tetapi di dalam kedua ayat tersebut sama sekali tidak ada indikasi bahwa, kesamaan jenis adalah keharusan dalam sebuah pernikahan.
Ke-Dua, Pada ayat diatas Allah SWT menyebutkan kebaikan-Nya dengan memberikan nikmat atau anugrah yang berupa pasangan dari jenis yang sama. Mereka berpendapat, andai pernikahan beda jenis antar manusia dan jin diperbolehkan, Maka akan menghilangkan anugrah Tuhan. Sayangnya, alasan ini kurang kuat, karena yang disebutkan oleh Allah SAW dalam ayat di atas adalah anugrah yang lebih besar dari dua anugrah (sama jenis dan beda jenis) dalam sebuah pernikahan. Maksudnya, anugrah yang diberikan oleh Allah SWT dalam sebuah pernikahan sama jenis(manusia dan manusia) adalah sebuah anugrah yang lebih besar daripada anugrah pernikahan beda jenis(manusia dan jin). Maka ayat ini belum dapat menafikan adanya pernikahan beda jenis adalah termasuk anugrah dari Tuhan, meskipun anugrah pernikahan beda jenis tidak sebesar anugrah pernikahan sama jenis.
Ke-Tiga, hadits dlo’if yang diriwayatkan oleh Harb dari Ahmad dan Ishaq . Beliau berdua berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الْقَطِيعِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ الزُّهْرِيِّ
قَالَ { : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِكَاحِ الْجِنِّ }
Pada hadis ini Rasulullah Saw. Mencegah untuk menikahi jin. Namun, sesuai dengan apa yang telah di kemukakan oleh Nuruddin ‘Ali bin Ibrohim al-Halaby, bahwa hadits ini diarahkan pada pencegahan yang hanya berdampak pada kemakruhan (للتنزيه) tidak sampai haram (للتحريم).
Selain itu, masih ada beberapa alasan lagi yang digunakan sebagai dasar bagi pendapat lemah ini, yang disebutkan oleh Syaikh Jalaluddin as-Suyuthy dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nadho’ir.
Sedangkan pendapat yang kuat adalah pendapat dari al-Qomuly yang dijadikan qoul mu’tamad oleh Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad ar-Romly as-Shoghir dan Syaikh Hasan al-Manthowy al-Mudabighy dalam Hasyiah at-Tahrir.
Dari pertentangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat yang kuat, yang menjadi pendapat unggulan adalah pendapat yang menyatakan menikah dengan jin adalah diperbolehkan. Akan tetapi, kita sebagai umat generasi akhir kiranya tak baik, bila mengabaikan pendapat-pendapat dari generasi ulama salaf meskipun pendapat itu lemah secara kaidah madzhab. Oleh karenanya, alangkah bagus bila kita tidak menikah dengan jin untuk menghindari berbeda dengan ulama. Dengan menikahi jin, maka kita akan bertentangan dengan ulama yang tidak memperbolehkannya. Sebaliknya, dengan menyatakan tidak diperkenankan menikahi jin, maka kita akan bertentangan dengan ulama yang memperbolehkannya.
Sebaiknya kita mengambil jalan tengah yaitu tidak menikah dengan jin serta tidak menyatakan bahwa hal itu tidak di perbolehkan. sikap seperti ini guna menghindari pertentangan para ulama salaf tersebut diatas. Karena dengan menghindari khilaf atau pertentangan maka kita akan mendapat kesunahan. Senada dengan Kaidah fiqh :
الخروج من الخلاف مستحب
“Keluar dari pertentangan adalah disunahkan”
Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin Ibn Abd al-Aziz al-Malibary
Ianatut Tholibin, Syaikh Aby Bakr bin Muhammad Syatho ad-Dimyathy
Al-Iqna’, Syaikh Khothib as-Syirbiny
Tuhfatul Habib, Syaikh Utsman bin Sulaiman bin Hijazi bin Utsman as-Suwafy
Nihayat az-Zain, Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Aroby al-Bantany
Nihayatul Muhtaj, Imam Muhammad bin Ahmad bin Hamzah ar-Romly as-Shoghir
Hasyiah Nihayatul Muhtaj, Syaikh Nuruddin ‘Ali bin ‘Ali asy-Syabromallisi
Hasyiah Bujairimy ‘ala Syarhil Manhaj, Syaikh Sulaiman al-Bujairimy
Al-Asybah wa an-Nadho’ir fi al-Furu’, Jalaluddin Abdurrohman bin Abi Bakr bin Muhammad as-Suyuthy
Majmu’at Sab’at Kutub Mufidah, as-Sayyid ‘Alawy bin Ahmad as-Saqof
Oleh:
ketua Kajian Bahtsu Masail kwagean & ketua Perpustakaan Fathul Afkar kwagean
0 Response to "HUKUM MENIKAH DENGAN JIN"
Post a Comment