SARAH AL HIKAM IBNU ATTA'ILLAH ASAKANDARI
Al-Hikam Pasal 1
Bersandar pada Amal
"BERSANDARLAH PADA ALLOH JANGAN PADA AMAL”
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana."
Syarah
Ar-raja adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Pasal Al-Hikam yang pertama ini bukan ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-rajalebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub.
Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat. Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala.
Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada Allah Ta'ala
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas raja (harap) kita kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya.” Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Alloh, meminta kepada Alloh supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya, karena hakikatnya yang menggerakkan amal ibadah itu Alloh,. sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia merasa putus asa dan berkurang pengharapannya kepada Alloh. sehingga apabila berkurang pengharapan kepada rohmat Alloh, maka amalnyapuan akan berkurang dan akhirnya berhenti beramal.
seharusnya dalam beramal itu semua dikehendaki dan dijalankan oleh Alloh. sedangkan dirikita hanya sebagai media berlakunya Qudrat Alloh.
Kalimat: Laa ilaha illalloh. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat bersandar, berlindung, berharap kecuali Alloh, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Alloh.
Pada dasarnya syari’at menyuruh kita berusaha dan beramal. Sedang hakikat syari’at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar pada karunia dan rahmat Alloh subhanahu wata’ala.
Apabila kita dilarang menyekutukan Alloh dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah menyekutukan Allah dengan kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah subhanahu wata’ala.
Al-Hikam Pasal 2
Syahwat dan Himmah
“TAJRID dan KASAB”
إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ
"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi."
Syarah
Dalam pasal ini, Ibnu Atha’illah menggunakan beberapa istilah baku dalam khazanah sufi, yang harus dipahami terlebih dahulu agar mendapatkan pemahaman yang utuh. Istilah-istilah itu adalah: tajrid, asbab, syahwat danhimmah.
Tajrid secara bahasa memiliki arti: penanggalan, pelepasan, atau pemurnian. Secara maknawi adalah penanggalan aspek-aspek dunia dari jiwa (nafs), atau secara singkat bisa dikatakan sebagai pemurnian jiwa.
Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab-sebab atau sebab-akibat. Secara maknawi adalah status jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam dunia sebab akibat. Semisal Iskandar Zulkarnain yang Allah tempatkan sebagai raja di dunia, mengurusi dunia sebab-akibat.
Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.
Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.
Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu—misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara. Bila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.
Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk, agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab. Semua kehendak seorang salik haruslah bekesesuaian dengan Kehendak Allah.
Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan berfikir tentang ayat-ayat Alloh, dan beribadah dan harus tahu bahwa tujuan hidup itu hanya untuk beribadah(menghamba) kepada Alloh,sesuai tuntunan Al-qur’an.
Tetapi setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepoti/mengganggu dalam ibadah yaitu bekerja(kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kasab/usaha dan hanya ingin melulu beribadah.
Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi/samar.
Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Alloh yang maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hambanya.
Dan tanda-tanda bahwa Alloh menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain.
Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha [Tajrid]. Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.
Syeikh Ibnu ‘Atoillah berkata : “Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.
Al-Hikam Pasal 3
Himmah dan Qadar
“KEKUATAN TAQDIR”
سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ
"Kekuatan himmah-himmah tidak akan mampu mengoyak tirai qadar-qadar."
Syarah
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Hikam Pasal 2, himmah adalah sebuah tarikan ke atas, keinginan menuju Allah, merupakan lawan kata dari syahwat. Adapun pengertian sawaabiqu (dari akar kata sabaqa) bermakna kekuatan atau perlombaan—satu akar kata dengan istilah musabaqah.
Pengertiannya adalah bahwa sekalipun seseorang memiliki himmah yang sangat kuat, namun pencapaian dalam bersuluk itu sudah ditentukan kadarnya, porsinya, dan waktunya. Segala sesuatu sudah ditentukan takdirnya. Bersuluk itu pada intinya adalah berserah diri kepada Allah; pencapaian dalam jalan suluk tidak dapat dipercepat maupun diperlambat.
kekeramatan atau kejadian-kejadian yang luar biasa dari seorang wali itu, tidak dapat menembus keluar dari takdir, maka segala apa yang terjadi semata-mata hanya dengan takdir Alloh."
Hikmah ini menjadi ta’lil atau sebab dari hikmah sebelumnya (Iroodatuka tajriid) seakan akan Mushonnif berkata: Hai murid, keinginan/himmahmu pada sesuatu, itu tidak ada gunanya, karena himmah yang keras/kuat itu tidak bisa menjadikan apa-apa seperti yang kau inginkan, apabila tidak ada dan bersamaan dengan taqdir dari Alloh. Jadi hikmah ini (Sawa-biqul himam) mengandung arti menentramkan hati murid dari keinginannya yang sangat.
SAWAA-BIQUL HIMAM (keinginan yang kuat): apabila keluar dari orang-orang sholih/walinya Alloh itu disebut: Karomah. Apabila keluar dari orang fasiq disebut istidroj/ penghinaan dari Alloh.
Firman Allah subhanahu wata’ala: “Dan tidaklah kamu berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Alloh Tuhan yang mengatur alam semesta.” [At-Takwir 29]. “Dan tidaklah kamu menghendaki kecuali apa yang dikehendaki oleh Alloh, sungguh Alloh maha mengetahui, maha bijaksana.” [QS. Al-Insaan 30].
Al-Hikam Pasal 4
Istirahatkan Dirimu dari Pengaturan
“JANGAN IKUT MENGATUR”
أَرِحْ نــَفْسَـكَ مِنَ الـتَّدْبِــيْرِ، فَمَا قَامَ بِـهِ غَيْرُ كَ عَـنْكَ لاَ تَـقُمْ بِـهِ لِنَفْسِكَ
"Istirahatkan dirimu dari tadbiir (melakukan pengaturan-pengaturan)! Maka apa-apa yang selainmu (Allah) telah melakukannya untukmu, janganlah engkau (turut) mengurusinya untuk dirimu."
Syarah
Tanpa kita sadari, banyak hal yang telah Allah atur untuk diri kita. Jaringan syaraf yang terus bekerja, paru-paru yang memompa udara, oksigen yang kita hirup dengan leluasa, rizki yang kita makan, dan banyak hal lain yang sesungguhnya telah Allah atur untuk setiap manusia. Maka kita tidak perlu terlalu khawatir, takut, turut serta melakukan pengaturan untuk diri kita sendiri, dan bertawakallah! Sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.. – Q.S. Al-A'raaf [7]: 96
Yang di maksud TADBIIR (mengatur diri sendiri)dalam hikmah ini yaitu Tadbir yang tidak di barengi dengan Tafwiidh (menyerahkan kepada Alloh). Apabila Tadbir itu dibarengi dengan Tafwidh itu diperbolehkan, bahkan Rosululloh bersabda: At-tadbiiru nishful ma-‘isyah.(mengatur apa yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari ma’isah/penghidupan).
Hadits ini mengandung anjuran untuk membuat peraturan didalam mencari fadholnya Alloh. pengertian Tadbir disini ialah menentukan dan memastikan hasil. karena itu semua menjadi aturan Alloh.
al-hasil, Tadbir yang dilarang yaitu ikut mengatur dan menentukan/memastikan hasilnya.
Sebagai seorang hamba wajib dan harus mengenal kewajiban, sedang jaminan upah ada di tangan majikan, maka tidak usah risau pikiran dan perasaan untuk mengatur, karena kuatir kalau apa yang telah dijamin itu tidak sampai kepadamu atau terlambat, sebab ragu terhadap jaminan Allah tanda lemahnya iman.
Al-Hikam Pasal 5
Bashirah
“TANDA MATA HATI YG BUTA”
اِجْتِهَادُكَ فِيمَا ضُمِنَ لَكَ، وَ تـَقْصِيْرُكَ فِيمَا طُلِبَ مِنْكَ، دَ لِيلٌ عَلَى انـــْطِمَاسِ الْــبَصِيْرةِ مِنْكَ
"Kesungguhanmu pada apa-apa yang telah Dia Ta’ala jamin bagimu, dan kelalaianmu pada apa-apa yang Dia Ta’ala tuntut darimu, merupakan bukti atas lenyapnya bashirah darimu!"
Syarah
Bashirah adalah istilah teknis agama untuk "mata hati" yang memiliki fungsi spesifik. Di dalam Al-Quran terdapat banyak kata tentang "bashirah", misalkan dalam Surah Al-Israa' [17]: 72 dikatakan, "Dan barangsiapa yang buta (a'maa) di dunia, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta dan lebih tersesat jalannya". Atau dalam ayat lain disebutkan:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Allah telah mengunci-mati qalb-qalb mereka dan telinga-telinga mereka, dan bashirah-basirah mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. —Q.S. Al-Baqarah [2]: 6
Meski seseorang bisa melihat hingga ke ujung dunia atau dapat menembus langit yang tujuh, namun bila masih bingung dengan kehidupan, maka itu sebuah penanda bahwa bashirah kita masih tertutup.
Karena bashirah itu bukan untuk melihat hal-hal di luar diri, tetapi untuk melihat kebenaran hakikat. Bashirah adalah untuk melihat Al-Haqq dalam segala sesuatu, dalam segenap ufuk dan dalam dirinya. Sebagaimana firman-Nya:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada nafs-nafs mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa semua itu adalah Al-Haqq. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? —Q.S. Fushshilat [41]: 53
Siapa saja yang disibukkan mencari apa yang sudah dijamin Alloh seperti rizki, dan meninggalkan apa yang menjadi perintah Alloh, itulah tanda orang yang buta hatinya.
Firman Alloh: "Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak [dapat] membawa [mengurus] rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha mendengar, Maha mengetahui."[QS. al-Ankabuut 60].
Firman Alloh: "Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat [yang baik di akhirat] adalah bagi orang yang bertakwa." [QS. Thaha 132].
Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu terhadap Kami, dan Kami melengkapi bagimu bagian Kamu.
Di sini ada dua perkara :
1. Yang dijamin oleh Alloh, maka jangan menuduh atau berburuk sangka kepada Alloh subhanahu wa ta'ala.
2.Yang dituntut [menjadi kewajiban bagimu] kepada Allah, maka jangan abaikan.
Dalam sebuah hadits Qudsy yang kurang lebih artinya: "Hambaku, taatilah semua perintah-Ku, dan jangan memberi tahu kepada-Ku apa yang baik bagimu, [jangan mengajari kepada-Ku apa yang menjadi kebutuhanmu].
Syeih Ibrahim al-Khawwas berkata: "Jangan memaksa diri untuk mencapai apa yang telah dijamin dan jangan menyia-nyiakan [mengabaikan] apa yang diamanatkan kepadamu." Oleh sebab itu, barangsiapa yang berusaha untuk mencapai apa yang sudah dijamin dan mengabaikan apa yang menjadi tugas dan kewajiban kepadanya, maka buta mata hatinya dan sangat bodoh.
Al-Hikam Pasal 6
Doa dan Ijabah
“RIDHO DENGAN PILIHAN ALLAH”
لاَ يَــكُنْ تَــأَخُّرُ أَ مَدِ الْعَطَاءِ مَعَ اْلإِلْـحَـاحِ فيِ الدُّعَاءِ مُوْجِـبَاً لِـيَأْسِكَ؛ فَـهُـوَ ضَمِنَ لَـكَ اْلإِجَـابَـةَ فِيمَا يَـخْتَارُهُ لَـكَ لاَ فِيمَا تَـختَارُ لِـنَفْسِكَ؛ وَفيِ الْـوَقْتِ الَّـذِيْ يُرِ يـْدُ لاَ فيِ الْـوَقْتِ الَّذِي تُرِ يدُ
"Janganlah karena keterlambatan datangnya pemberian-Nya kepadamu, saat engkau telah bersungguh-sungguh dalam berdoa, menyebabkan engkau berputus asa; sebab Dia telah menjamin bagimu suatu ijabah (pengabulan doa) dalam apa-apa yang Dia pilihkan bagimu, bukan dalam apa-apa yang engkau pilih untuk dirimu; dan pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau kehendaki."
Syarah
Doa adalah sebuah bentuk ibadah. Dan dalam Al-Quran, Allah memerintahkan kepada kita untuk berdoa kepada-Nya—dan Dia Ta’ala pasti kabulkan.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." – Q.S. Al-Mu'min [40]: 60
Tanda seorang mukmin sejati adalah: lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang dapat diusahakan oleh tangannya sendiri. Ketika doa yang kita panjatkan seolah tidak mendapat pengabulan dari Allah Ta’ala, disitu terdapat ruang pengetahuan yang kosong yang harus kita cari dan isi. Doa disini bukan hanya terkait masalah duniawi; tetapi juga termasuk dalam hal spiritual. Misalkan, kita berdoa agar diterima taubatnya dan dibersihkan dari segala dosa.
Hakikatnya setiap doa yang kita panjatakan adalah sebuah refleksi dari objek yang telah Allah siapkan. Tidak serta merta kita menginginkan sesuatu di dalam hati, kecuali telah ada objeknya. Tanpa objek yang telah Allah sediakan, pada dasarnya setiap orang tidak akan punya keinginan untuk berdoa. Seperti ketika menginginkan sebuah makanan, karena baunya sudah tercium dari jauh.
Hanya saja manusia kerap terjebak oleh ketidak-sabaran dan waham (kesalahan pemikiran) tentang dirinya sendiri. Seperti ketika seorang sahabat meminta kepada Rasulullah SAW agar berjodoh dengan seorang perempuan; maka jawaban Rasulullah SAW adalah: sekalipun dirinya dan seluruh malaikan memanjatkan doa maka bila itu bukan haknya dan tidak tertulis di Lauh Mahfudz pasti tidak akan terlaksana. Keinginannya untuk memiliki jodoh adalah sebuah isyarat akan objek yang telah Allah sediakan, tetapi keinginannya akan perempuan tertentu adalah karena syahwat dan wahamnya yang masih belum surut.
Doa membutuhkan pengenalan (ma’rifah) akan Allah dan akan diri sendiri. Allah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi makhluknya, lebih dari seorang ibu mengetahui kebutuhan bayinya.
Alloh telah berjanji akan mengabulkan do’a. sesuai dengan firman-Nya,“Mintalah kamu semua kepada-Ku, Aku akan mengijabah do’amu semua”. dan Alloh berfirman, "Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan memilihnya sendiri, tidak ada hak bagi mereka untuk memilih."
Sebaiknya seorang hamba yang tidak mengetahui apa yang akan terjadi mengakui kebodohan dirinya, sehingga tidak memilih sesuatu yang tampak baginya sepintas baik, padahal ia tidak mengetahui bagaimana akibatnya. Karena itu bila Tuhan yang maha mengetahui, maha bijaksana memilihkan untuknya sesuatu, hendaknya rela dan menerima pilihan Tuhan yang Maha pengasih, Maha mengetahui dan Maha bijaksana. Walaupun pada lahirnya pahit dan menyakitkan rasanya, namun itulah yang terbaik baginya, karena itu bila berdoa, kemudian belum juga terkabulkan keinginannya, janganlah terburu-buru putus asa.
Firman Allah: "Dan mungkin jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan mungkin jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [QS. al-Baqarah 216].
Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily radhiallahu 'anhu ketika mengartikan ayat ini:''Sungguh telah diterima do’amu berdua [Musa dan Harun alaihissalam] yaitu tentang kebinasaan Fir'aun dan tentaranya, maka hendaklah kamu berdua tetap istiqamah [sabar dalam melanjutkan perjuangan dan terus berdo’a], dan jangan mengikuti jejak orang-orang yang tidak mengerti [kekuasaan dan kebijaksanaan Allah]." [QS. Yunus 89].
Maka terlaksananya kebinasaan Fir'aun yang berarti setelah diterima do’a Nabi Musa dan Harun alaihissalam selama/sesudah 40 tahun lamanya.
Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Pasti akan dikabulkan do’amu selama tidak terburu-buru serta mengatakan, aku telah berdo’a dan tidak diterima."
Anas rodhiallohu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada orang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya, atau dihindarkan dari padanya bahaya, atau diampuni sebagian dosanya, selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang berdosa atau untuk memutus silaturrahim.
Syeih Abu Abbas al-Mursi ketika ia sakit, datang seseorang membesuknya dan berkata: Semoga Alloh menyembuhkanmu [Afakallohu]. Abu Abbas terdiam dan tidak menjawab. Kemudian orang itu berkata lagi: Alloh yu'aafika. Maka Abu Abbas menjawab: Apakah kamu mengira aku tidak memohon kesehatan kepada Alloh? Sungguh aku telah memohon kesehatan dan penderitaanku ini termasuk kesehatan, ketahuilah Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam memohon kesehatan dan ia berkata: "Selalu bekas makanan khaibar itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.''
Abu Bakar as-Siddiq memohon kesehatan dan meninggal terkena racun. Umar bin Khottob memohon kesehatan dan meninggal dalam keadaan terbunuh. Usman bin Affan memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Ali bin Abi Tholib memohon kesehatan dan juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Maka bila engkau memohon kesehatan kepada Alloh, mohonlah menurut apa yang telah ditentukan oleh Alloh untukmu, maka sebaik-baik seorang hamba ialah yang menyerahkan segala sesuatunya menurut kehendak Tuhannya, dan meyakini bahwa apa yang diberikan Tuhan kepadanya, itulah yang terbaik walaupun tidak sejalan dengan nafsu syahwatnya. Dan syarat utama untuk diterimanya doa ialah keadaan terpaksa/kesulitan. Allah subhanahu wata'ala berfirman: "Bukankah Dia [Alloh] yang memperkenankan [do’a] orang yang dalam kesulitan apabila dia berdo’a kepada-Nya..." [QS. an-Naml 62].
Keadaan terpaksa atau kesulitan itu, apabila merasa tidak ada sesuatu yang di harapkan selain semata-mata karunia Allah subhanahu wata'ala, tidak ada yang dapat membantu lagi baik dari luar berupa orang dan benda atau dari dalam diri sendiri.
Al-Hikam Pasal 7
Cahaya Basirah dan Cahaya Sirr
“JANGAN MERAGUKAN JANJI ALLAH”
لاَ يـُشَـكِّكَــنَّكَ فيِ الْـوَعْدِ عَدَمُ وُقُــوْعِ الْـمَـوْعُـوْدِ ، وَ إِنْ تَـعَـيَّنِ زَمَنُهُ ؛ لِئَـلاَّ يـَكُوْنَ ذَ لِكَ قَدْحًـا فيِ بَـصِيْرَ تِـكَ ، وَ إِخْمَـادً ا لِـنُورِ سَرِ يـْرَ تِـكَ
"Janganlah karena tiadanya pemenuhan atas apa-apa yang dijanjikan, padahal telah jatuh waktunya, membuatmu ragu terhadap janji-Nya; agar yang demikian itu tidak menyebabkan bashirah-mu buram dan cahaya sirr-mu padam!"
Syarah
Dalam Al-Quran, ada sebuah hikmah dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Siti Sarah.
Ibrahim a.s. senantiasa berdoa agar dikaruniai keturunan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat [37]: 100: “Rabbii hablii minash-shaalihiin.” Tatkala datang dua malaikat yang memberi kabar gembira akan lahirnya Ishaq a.s., Siti Sarah digambarkan “tersenyum keheranan” (Q.S. Huud [11]: 72-73 ), atau “memekik” (Q.S. Adz Dzaariyaat [51]: 29).
قَالَتْ يَا وَيْلَتَىٰ أَأَلِدُ وَأَنَا عَجُوزٌ وَهَـٰذَا بَعْلِي شَيْخًا ۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَيْءٌ عَجِيبٌ
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّـهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّـهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
Istrinya berkata: "Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang sangat aneh." Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul-bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." – Q.S. Huud [11]: 72-73
Demikian halnya Ibrahim a.s. berkata:
قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَىٰ أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ
قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ
Berkata Ibrahim: "Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?" Mereka menjawab: "Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa." Ibrahim berkata: "(Tidak ada) orang yang berputus-asa dari rahmat-Nya, kecuali orang-orang yang sesat." – Q.S. Al-Hijr [15]: 54-55
Keraguan kita akan janji Allah, sesungguhnya adalah tanda dari kelemahan tauhid, sehingga membuat bashirahmenjadi buram dan cahaya sirr (rahasia-rahasia) menjadi padam. Keraguan adalah sesuatu yang berbahaya dalam jalan suluk. Dalam kisah Siti Hajar, hal tersebut telah membuat kelahiran Ishaq a.s. tertunda sebagai sebuah hukuman karena bersitan keraguan akan janji Allah.
Mengenai bashirah, seperti telah dibahas dalam pasal-pasal sebelumnya (lihat Al-Hikam Pasal 5), adalah cahaya untuk melihat Al-Haqq pada segenap ufuk alam semesta. Adapun cahaya sirr merupakan cahaya yang akan menampakan jati diri setiap insan. Rahasia tentang hakikat diri kita, qadha dan qadar, misi hidup, hanya bisa ditampakkan dengan cahaya sirr Allah.
Manusia sebagai hamba tidak mengetahui kapankah Alloh akan menurunkan karunia dan rahmat-Nya, sehingga manusia jika melihat tanda-tanda ia menduga, mungkin telah tiba saatnya, padahal bagi Alloh belum memenuhi semua syarat yang dikehendaki-Nya, maka bila tidak terjadi apa yang telah diduganya, hendaknya tidak ada keraguan terhadap kebenaran janji Alloh subhanahu wata'ala.
Sebagaimana yang terjadi dalam Sulhul [perdamaian] Hudaibiyah, ketika Rasululloh shallalloahu 'alaihi wasallam, menceritakan mimpinya kepada sahabatnya, sehingga mereka mengira bahwa pada tahun itu mereka akan dapat masuk ke kota Makkah dan melaksanakan ibadah umroh dengan aman dan sejahtera [mimpi Rasululloh saw. yang tersebut dalam surah al-Fath].
Alloh berfirman: "Sungguh Alloh akan membuktikan kepada Rosul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti memasuki Masjidil Haram, jika Alloh menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu merasa takut. Maka Alloh mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat." [QS. al-Fath 27].
Sehingga ketika gagal tujuan umroh karena di tolak oleh bangsa Quraisy dan terjadi penanda tanganan perjanjian Sulhul [perdamaian] Hudaibiyah, yang oleh Umar dan sahabat-sahabat lainnya dianggap sangat mengecewakan,
maka ketika Umar ra. mengajukan beberapa pertanyaan, dijawab oleh Nabi saw: Aku hamba Alloh dan utusan-Nya dan Alloh tidak akan mengabaikan aku.
Firman Alloh: "(Dalam menghadapi ujian dari Alloh) Sehingga Rosul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, Kapankah datang pertolongan Alloh? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Alloh itu dekat." [QS. al-Baqoroh 214].
Al-Hikam Pasal 8
Amal, Berserah Diri dan Ma’rifat
“KETIKA ALLAH MEMBUKA PINTU PERKENALAN”
إِذَا فَتَحَ لَـكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلاَ تُبــَالِ مَعَهَا أِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّـهُ مَا فَـتَـحَهَا لَكَ إِلاَّ وَهُوَ يُرِ يْدُ أَنْ يَـتَـعَرَّفَ إِلَيكَ. أَلَمْ تَـعْلَمْ أَنَّ الـتَّــعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ، وَاْلأَعْمَالُ أَنْتَ مُــهْدِ يْــهَا إِلَـيْهِ، وَأَيــْنَ مَا تُــهْدِ يْهِ إِلَـيْهِ مِمَّا هُـوَ مُوْرِدُهُ عَلَـيْكَ
"Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu.
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu."
Syarah
Ada rahasia yang sangat halus dibalik kalimat-kalimat Ibnu Athaillah dalam pasal ini. Ibnu Athaillah bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap pejalan suluk.
Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugrahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.
Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya Fatimah r.a. untuk senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata. – H.R. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim.
Dalam hadits yang lain dikatakan:
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ
Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau. – H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban.
Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang: aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?– Q.S. An-Nisa [4]: 125
Ma’rifat [mengenal] kepada Allah, itu adalah puncak keberuntungan seorang hamba, maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal kepada-Nya, maka tidak perlu pedulikan berapa banyak amal perbuatanmu, walaupun masih sedikit amal kebaikanmu. Sebab ma’rifat itu suatu karunia dan pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Abu Huroiroh ra. berkata: Rasululloh saw. bersabda: Alloh azza wajalla berfirman: “Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang lain, maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari semula, dan ia boleh memperbarui amal, sebab yang lalu telah diampuni semua.”
Diriwayatkan: Bahwa Alloh telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi diantara beberapa Nabi-Nya.” Aku telah menurunkan ujian kepada salah seorang hamba-Ku, maka ia berdoa dan tetap Aku tunda permintaannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku berkata kepadanya: Hamba-Ku bagaimana Aku akan melepaskan dari padamu rahmat yang justru ujian itu mengandung rahmat-Ku.”
Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu engkau tidak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan ujian itulah engkau dapat mencapai tingkat dan kedudukan di sisi Alloh.
Al-Hikam Pasal 9
Amal, Ahwal dan Warid
“AHWAL AKAN MENENTUKAN A’MAAL”
تَـنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ اْلأَعْمَالِ لِـتَـنَوُّعِ وَارِدَاتِ اْلأَحْوَالِ
"Beragamnya jenis amal-amal itu disebabkan oleh beragamnya warid-warid (yang turun) pada ahwal-ahwal (hamba-Nya)."
Syarah
Warid adalah terminologi suluk yang banyak ditemukan dalam Al-Hikam. Makna sederhana warid adalah karunia Allah yang turun kepada seorang hamba. Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb, dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-Quran Allah berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا ...
Tidak dianugerahkan (al-hasanah) itu melainkan kepada orang-orang yang sabar ... – Q.S. Al-Fushilat [41]: 35
Dalam ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan al-hasanah yang dianugrahkan merupakan warid yang Allah karuniakan.
Namun dalam pasal ini Ibnu Athaillah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid; namun juga berbicara keterkaitan antara warid dan amal. Bahwa warid yang diterima seorang hamba terkait dengan amal hamba tersebut. Amal yang dimaksud disini adalah berupa amal yang khusus, yakni amal atau dharma yang terkait dengan misi hidup atau jatidiri seseorang.
Haruslah dipahami bahwa jatidiri setiap manusia adalah unik dan berbeda. Suatu warid yang Allah karuniakan kepada seorang hamba pasti akan mengungkap jatidiri hamba tersebut. Seorang nabi, seorang rasul, seorang wali, seorang mursyid, seorang raja, seorang ilmuwan, masing-masing memiliki amal-amal yang khusus terkait jatidirinya. Misalkan seorang hamba yang jatidirinya sebagai mursyid, maka akan dikaruniai warid berupa pengetahuan atau kemampuan untuk membimbing murid-muridnya.
Dalam pandangan tasawuf, Hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Alloh). tanpa Hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu membina makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.
Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka keghoiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini.
Rasululloh saw. sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun pada setiap kali Jibrail a.s menemui Rasululloh saw. dengan rupa yang berbeda-beda, Rasululloh tetap mengenalinya sebagai Jibrail a.s.
Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan Hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahawa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Alloh, semata-mata karunia Alloh yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. karunia Alloh yang mengandung makrifat itu dinamakan Hal.
Ada orang yang memperoleh Hal sekali saja dan dikuasai oleh Hal dalam waktu yang tertentu saja dan ada juga yang terus-menerus di dalam Hal. Hal yang terus-menerus atau berkekalan dinamakan wishol yaitu penyerapan Hal secara terus-menerus, kekal atau baqo’. Orang yang mencapai wishol akan terus hidup dengan cara Hal yang terjadi. Hal-hal (ahwal) dan wishol bisa dibagi menjadi lima macam:
1 : Abid:
Abid adalah orang yang dikuasai oleh Hal atau zauk yang membuat dia merasakan dengan sangat bahawa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, usaha, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Alloh. Semuanya itu adalah karunia Allohsemata-mata. Alloh sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, kerana dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t.
2 : Asyikin:
Asyikin ialah orang yang memandang sifat Keindahan Allah s.w.t. Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya kerana apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya. Amal atau kelakuan asyikin ialah gemar merenungi alam dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya. Dia boleh duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesedarannya bukan lagi pada alam ini. Dia mempunyai alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Alloh s.w.t.
3 : Muttakholiq:
Muttakholiq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faroidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faroidh, muttakholiq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah daripada dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya. Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahawa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faroidh ialah bercampur-campur di antara logika dengan tidak logika, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki”.
Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakholiq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t kerana Allah s.w.t memberikan kepadanya untuk berbuat sesuatu. Contoh Qurbi Nawafil adalah kelakuan Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga kelakuan beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi kemampuan beliau, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan kemampuan tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.
4 : Muwahhid:
Muwahhid fana’ dalam dzat, dzatnya lenyap dan DZat Mutlak yang menguasainya. bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Alloh s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesedaran basyariah dan sekalian maujud. Kelakuan atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke‘Abdullah-an’ dan benar-benar dikuasai oleh ke‘Allah-an’. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas daripada beban hukum syarak. Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh kewujudan ‘Aku Hakiki’. Walau bagaimana pun sikap dan kelakuannya dia tetap dalam ridho Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesedarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahawa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya.
Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahawa siapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!
5 : Mutahaqqiq:
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam dzat turun kembali kepada kesedaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Alloh di muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurusi.
Dalam kesadaran dzat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Alloh s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesedaran sifat barulah dia boleh memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Alloh s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Alloh s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhoi Alloh s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli thorikoh yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Robbani. Insan Robbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Alloh karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.
Al-Hikam Pasal 10
Cahaya Ikhlas
“RUH NYA AMAL YAITU IKHLAS”
اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ، وَأَرْوَاحُـهَا وُجُوْدُ سِرِّ اْلإِخْلاَصِ فِيهَا
"Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang menghidupkannya adalah hadirnya sirr ikhlas (cahaya ikhlas) padanya"
Syarah
Alkisah, suatu hari saat Rasulullah SAW sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya, datanglah seorang wanita kafir membawa beberapa biji buah jeruk sebagai hadiah. Rasulullah SAW menerimanya dengan senyuman gembira. Lalu mulailah jeruk itu dimakan oleh Rasulullah SAW dengan tersenyum, sebiji demi sebiji hingga habislah semua jeruk tersebut. Maka ketika wanita itu meminta izin untuk pulang, maka salah seorang sahabat segera bertanya mengapa tidak sedikit pun Rasulullah menyisakan jeruk tadi untuk sahabat lainnya. Rasulullah SAW pun menjawab: “Tahukah kamu, sebenarnya buah jeruk itu terlalu asam sewaktu saya merasakannya pertama kali. Kalau kalian turut makan, saya takut ada di antara kalian yang akan mengernyitkan dahi atau memarahi wanita tersebut. Saya takut hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya.”
Akhlak yang agung seperti ini tidak dapat dipoles di permukaan, tetapi semata-mata karena ada cahaya ikhlas yang sudah tertanam di dalam hati. Sikap dan perilaku adalah cerminan hati. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Rasulullah SAW bersabda:
"Aku pernah bertanya kepada Jibril tentang ikhlas. Lalu Jibril berkata, ‘Aku telah menanyakan hal itu kepada Allah’, lalu Allah berfirman, ‘(Ikhlas) adalah salah satu dari rahasiaku, yang Aku berikan ke dalam hati orang-orang yang kucintai dari kalangan hamba-hamba-Ku" –Hadits Qudsi
Sirr secara bahasa artinya adalah “rahasia”. Secara hakikat sirr adalah cahaya khusus yang Allah berikan kepada seorang hamba yang Dia cintai, sebagaimana diungkap dalam hadits diatas.
Tidak ada amal-amal yang agung dapat tegak kecuali Allah telah menanamkan ruh berupa cahaya ikhlas yang dapat menghidupkan amal tersebut. Sebagaimana akhlak-akhlak yang tinggi yang ditampilkan oleh para nabi, rasul serta hamba-Nya yang Dia cintai adalah karena ada ruh-ruh yang menghidupkannya; dan itu berupa sirr (cahaya) ikhlas yang menyala di dalam hati.
Amal ialah, geraknya badan lahir atau hati. amal itu digambarkan sebagai tubuh/jasad. sedangkan ikhlas itu sebagai ruhnya. yakni., badan tanpa ruh berarti mati. amal lahir atau amal hati itu bisa hidup hanya dengan adanya ikhlas. Alloh berfirma, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas)kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” albayyinah 5. “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas)kepada-Nya.” Az-zumar 2.
Imam Hasan Al-Bashari, barkata, “Aku pernah bertanya kepada shahabat Hudzaifah r.a. tentang ikhlas, beliau menjawab: Aku pernah bertanya kepada Rasululloh SAW ikhlas itu apa, beliau menjawab: Aku pernah menanyakan ttg ikhlas itu kpd malaikat Jibril a.s dan beliau menjawab: Aku pernah bertanya ttg hal itu kepada Alloh Rabbul 'Izzaah, dan IA menjawab: "IKHLAS ialah RAHASIA di antara rahasia-rahasiaKU yg Kutitipkan di hati hambaKU yg Aku cintai."
Ikhlas itu berbeda/bertingkat sesuai dengan perbedaan orang yang beramal.
Keikhlasan orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, dan amal perbuatan itu telah bersih dari pada riya' yang nampak ataupun yang tersembunyi, sedang tujuan amal perbuatan mereka selalu hanya pahala yang dijanjikan oleh Allah kepada hamba-Nya ,dan supaya diselamatkan dari neraka-Nya.
Keikhlasan orang-orang yang cinta kepada Alloh, yang beramal hanya karena mengagungkan Alloh,karena hanya Alloh dzat yang wajib di Agungkan, tidak karena pahala atau selamat dari siksa neraka. Sayyidah Robi’ah al-‘Adawiyyah bermunajat pada Alloh: Ya Alloh, saya beribadah kepadamu bukan karena takut nerakamu, dan juga tidak karena cinta dengan surgamu. Perkataan ini masih mengnggap dirinya yang beribadah(mengaku bisa beribadah).
Keikhlasan orang –orang yang sudah Ma’rifat kepada Alloh. Mereka selalu melihat kepada Alloh, gerak dan diamnya badan dan hatinya itu semua atas kehendak Alloh, mereka tidak merasa kalau bisa beramal,kecuali diberi pertolongan oleh Alloh, tidak sebab daya kekuatan dirinya sendiri.
والحمد لله رب العالمين
1 Response to "SARAH AL HIKAM IBNU ATTA'ILLAH ASAKANDARI "
Alhamdulillah.
Terima kasih sudah berbagi.
Posting Komentar