GUSDUR RELA MENANGGUNG LUKA
GUS DUR RELA MENANGGUNG LUKA
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bukan hanya dikagumi dan dirindukan banyak orang. Ia juga dibenci, dicaci-maki dan disumpah serapahi sebagian orang. Tetapi caci maki, sumpah serapah dan kutukan2 para pembenci Gus Dur, tak membuatnya menjadi rendah, tak menjadi kecil dan tak pula membuatnya terkucil. Itu tak menggentarkan hatinya.
Malahan gempuran2 terhadapnya seperti itu justru semakin mengukuhkan kebesarannya, meneguhkan perjuangannya dan semakin mengalirkan simpati kepadanya. Gus Dur menanggung semuanya dengan diam.
Ia tetap terus menapaki jalan yg ditempuhnya menuju cita-citanya: Keadilan bagi semua dan persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Ia adalah orang besar yg namanya akan dicatat sejarah peradaban sebagai pejuang kemanusiaan.
Kita sudah membaca sejarah umat manusia dan sejarah orang2 besar. Orang2 besar selalu mengandung dualitas yg paradoks: dikagumi dan dicemooh dlm waktu yg sama. Ka’ab al-Ahbar, seorang ahli tafsir berbagai kitab suci, bilang:
مَاكَانَ رَجُلٌ حَكِيْمٌ فِى قَوْمِهِ قَطُّ اِلَّا بَغَوْا عَلَيْهِ وَحَسَدُوهُ
“Tak ada tokoh bijak-bestari di sebuah komunitas kecuali selalu saja ada orang2/kelompok yg mencaci-maki dan mendengki dia.”
Jalal al-Din al-Suyuthi, ulama besar, seorang ensiklopedis dengan ratusan karya tulisnya, mengatakan hal yg sama, tetapi dgn redaksi bahasa yg sedikit berbeda:
مَاكَانَ كَبِيْرٌ فِى عَصْرٍ قَطُّ اِلَّا كَانَ لَهُ عَدُوٌّ مِنْ السَّفَلَةِ. إِذِ الْاَشْرَافُ لَمْ تَزَلْ تُبْتَلَى بِا لْاَطْرَافِ فَكَانَ لِآدَمَ إِبْلِيس , وَكَانَ لِنُوحٍ حَام وَغَيْرُه وَكَانَ لِدَاوُدَ جَالُوت وَاَضْرَابُه وَكَانَ لِسُلَيْمَان صَخَر وَكَانَ لِعِيْسَى بُخْتَنْصِر وَكَانَ لِاِبْرَاهِيم النَمْرُود وَكَانَ لِمُوسَى فِرْعَون وَهَكَذَا اِلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَهُ ابو جَهَل
“Tidak ada tokoh besar pada setiap zaman kecuali dicacimaki orang2 bodoh. Orang2 terhormat selalu diuji oleh orang-orang pinggiran. Dulu Nabi Adam dilawan Iblis, Nabi Nuh lawan Ham dan lainnya, Nabi Daud musuh Jalut dan pasukannya, Nabi Sulaiman lawan Sakhr, Nabi Isa lawan Bukhtanshir, Nabi Ibrahim lawan Namrud, Nabi Musa lawan Firaun, dan seterusnya sampai Nabi Muhammad SAW. Beliau dilawan Abu Jahal.”
Para tokoh bijak-bestari (Hukama) dalam sejarahnya, memang, bukan hanya disumpah-serapah dan dibenci, tetapi juga dikafirkan, dibid’ahkan, dizindiq-kan (dituduh atheis). Dan ingin dilenyapkan oleh mereka yg tak matang secara intelektual dan spiritual, atau oleh mereka yg pikirannya tergantung pada bentuk2 kredo formal dan teks-teks literal keagamaan atau oleh fanatisme pada kebenaran diri sendiri dan buta pada kebenaran yg lain.
Imam Al-Ghazali, sang sufi besar menyebut mereka, “orang2 yg memiliki pengetahuan terbatas. Seyogyanya keterbatasan pengetahuan itu hanya bagi dirinya sendiri dan tak boleh dipaksakan kepada yg lain. Mereka memang tak mengerti bhw setiap kata2 suci mengandung beribu makna.”
Boleh jadi mereka yg mengaku atau mengklaim paling benar sendiri sambil membodoh2kan orang lain atau, melukai dan menyerang orang lain itu, sesungguhnya tak lebih dari orang2 yg gelisah atas kondisi ketakberdayaan diri dan ketakutan yang berlebih. Fanatisme, radikalisme, atau ekstremisme, kata seorang psikolog, adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian, dari kebingungan yg akut, dari kecemasan yg menghantui dadanya dan rasa ketidakmampuan mengatasinya.
(KH Husein Muhammad, Pendiri Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, Penulis buku “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur”)
0 Response to "GUSDUR RELA MENANGGUNG LUKA"
Posting Komentar