BUKTI KEBODOHAN SESEORANG
*بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ*
“Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah swt. berfirman, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.al-Isra’[17]: 85)
Semestinya, ia juga memerhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan semacam ini adalah sebuah kebodohan.
Mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”
Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atas perkara-perkara gaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata-kata, itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara-perkara gaib dengan kata-kata justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karea perkara-perkara yang didasarkan pada dzauq (pengalaman perasaan) sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Selain itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, diantara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tak layak diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. Rasulullah saw. bersabda, “Diantara ilmu ada yang bagaikan mutiara yang berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”
Ali bin Al-Husain bin Ali berkata, “Banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan semuanya, orang-orang akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang-orang muslim yang menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang-orang bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haq.”
Abu Hurairah ra. Berkata, “Aku mendapat dua kantong ilmu dari rasulullah. Satu kantong kusebarkan ke seluruh manusia. Yang lain tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”
Oleh sebab itu, al-Hallaj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu, ia berkata, “Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu.
Abu Hurairah ra. Berkata, “Aku mendapat dua kantong ilmu dari rasulullah. Satu kantong kusebarkan ke seluruh manusia. Yang lain tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”
Oleh sebab itu, al-Hallaj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu, ia berkata, “Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu.
Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.
Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata-kata.
Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata-kata.
“Ada orang-orang yang Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Ada pula orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap-tiap golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 20)”
(QS. Al-Isra’ [17]: 20)”
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang melayani-Nya” adalah orang-orang yang menaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zahid dan ‘abid yang layak menempati surga-Nya. Sementara itu, yang dimaksud dengan “orang-orang yang mencintai-Nya” adalah para muhibbin dan ‘arif yang didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama-sama ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati.
Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yang memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut.
Abu Yazid berkata, “Allah melongok ke dalam hati para wali-Nya. Di antara mereka, ada yang belum layak mengemban makrifat maka Allah akan menyibukkan mereka dengan ibadah.”
Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yang memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut.
Abu Yazid berkata, “Allah melongok ke dalam hati para wali-Nya. Di antara mereka, ada yang belum layak mengemban makrifat maka Allah akan menyibukkan mereka dengan ibadah.”
Lanjut...
Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yang ditetapkan, dilanggengkan, dan ditolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang-orang ‘arif atau kegenitan kaum pencinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
Ditolong ialah dipalingkan dari kesibukan-kesibukan yang membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna “dilanggengkan” disini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ‘abid.
“Tanda orang arif” ialah karakter orang-orang ‘arif yang meninggalkan ikhtiar dan tidak memedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adapun maksud “kegenitan para pencinta Tuhan” ialah bukti-bukti dan pengaruh cinta yang tampak pada diri orang-orang yang mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah dengan sering berzikir mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.
Ibnu Atha’illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni sudah istikamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ‘arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan kerunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istikamah dalam berwirid.
“Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, zikir, maupun ibadah lainnya. Denga demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabun dan abrar. Muqarrabun adalah orang-orang yang tidak memedulikkan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari rida-Nya. Mereka adalah kaum ‘arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, ‘abrar ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka.
Ibnu Atha’illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni sudah istikamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ‘arif dan pencinta Tuhan). Alasannya, kalau tidak ada limpahan kerunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istikamah dalam berwirid.
“Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, zikir, maupun ibadah lainnya. Denga demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya, kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.
Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan: muqarrabun dan abrar. Muqarrabun adalah orang-orang yang tidak memedulikkan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (‘ubudiyah) kepada-Nya dalam rangka mencari rida-Nya. Mereka adalah kaum ‘arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, ‘abrar ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka.
Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya dan kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka satu mereka masing-masing.
Allah menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak bisa menampung pemberian yang Dia kehendaki kepada mereka. Juga karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau memberikan balasan di negeri yang tidak kekal ini.”
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
--Ibnu Atha’illah al-Iskandari--
Dunia tidak bisa menampung segala kenikmatan indrawi maupun maknawi. Pertama, karena dunia ini sempit. Seperti disebut dalam khabar, di akhirat Allah memberikan kepada setiap mukmin sebuah kerajaan yang luasnya sepanjang perjalanan selama tujuh ratus tahun. Bagaimana halnya dengan orang-orang mukmin yang khusus (khawwash)? Tentu jarak dan luas dunia ini tidak akan cukup menampung seluruh pahala mereka.
Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah, dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi, dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari di sana mengalahkan silaunya cahaya matahari.
Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yang tidak kekal ini. Segala hal yang fana, walaupun masanya panjang, akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan surga-Nya.
Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah, dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi, dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari di sana mengalahkan silaunya cahaya matahari.
Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yang tidak kekal ini. Segala hal yang fana, walaupun masanya panjang, akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan surga-Nya.
0 Response to "BUKTI KEBODOHAN SESEORANG"
Posting Komentar