PETA KEHIDUPAN
PETA KEHIDUPAN
Untuk memahami entitas manakah yang merupakan diri manusia sejati, maka perlu disimak terlebih dahulu paparan menyeluruh ihwal tahapan kehidupan manusia sebagaimana tertuang dalam Al-Quran, yang memetakan dari minus tak hingga masa lalu sampai plus tak hingga masa depan. Pemetaan menyeluruh tersebut dirumuskan menjadi konsep tujuh mawathin (bentuk jamak mauthin) oleh Ibn ‘Arabi1 plus satu konsep mauthin tambahan dari Zamzam AJT (mendahului ketujuh mauthin lainnya yang dirumuskan Ibn ‘Arabi).2
Makna harfiah dari mauthin adalah tempat, tapi Ibn ‘Arabi mendefinisikannya sebagai “alam manusia dalam perjalanannya pada jenjang kehidupannya.” Dimulai dari mauthin awwal—dari Zamzam AJT—yaitu, suatu tempat di masa awal ketika Allah menciptakan nafs, namun belum diatributi apa pun (lihat QS Al-Insan [76]: 1). Apabila secara jasad nasab manusia itu terhubung kepada Adam, maka secara nafs terhubung kepada Nur Muhammadiyyah. Proses penciptaan tersebut apabila diilustrasikan menyerupai sumber cahaya yang memiliki radius cahaya sekian jauh, merentang dari yang paling terang dan terdekat dengan sumber cahaya hingga yang berbatasan dengan kegelapan dan terjauh dari sumber cahaya. Allah menciptakan nafs dari cahaya di segenap radius cahaya tersebut. Dari sini beralih ke tujuh mauthin yang dipaparkan Ibn ‘Arabi.
Dari mauthin awwal beralih ke mauthin syahadah. Di mauthin inilah nafs dipersaksikan ihwal Allah sebagai Rabb-nya dan mendapatkan ‘amr sebagai atribut kedirian, yaitu, misi hidup masing-masing (lihat QS Al-A‘raf [7]: 172). Penyaksian dan ‘amr ini direkam serta disimpan dalam Rûh Al-Quds sehingga harus dicari, ditemukan dan dibuka dalam mauthin dunya. Kemudian beralih ke mauthin rahim. Di mauthin ini, nafs dimasukkan ke dalam jasad beserta peniupan ruh (min rûhi). Jasad merupakan ‘ciptaan baru’—karenanya bukanlah diri manusia sejati—yang menjadi wahana (markab) untuk nafs di mauthin berikutnya, yaitu mauthin dunya. Pertemuan antara nafs dan jasad menghasilkan psikis. Psikis itu tak ubahnya pertemuan lautan (nafs) dengan pantai (jasad) yang menghasilkan bunyi deburan keras. Psikis memiliki sejarah pembentukannya melalui faktor keluarga, sosial dan budaya (psikoanalisis adalah salah satu bidang keilmuan yang menelaah arkeologi psikis ini, meski seringkali bersifat overinterpretasi). Sementara nafs lebih azali ketimbang psikis, dan bukan bentukan.
Ketika terlahir ke mauthin dunya, manusia dianugerahi pendengaran, penglihatan dan fu‘ad (lihat QS An-Nahl [16]: 78). Fu‘ad merupakan bentuk primitif dari lubb. Ketika jasad tumbuh membesar, fu‘ad membentuk pikiran (mind). Selain itu, psikis pun mulai mengkristal menjadi kepribadian. Psikis, secara sederhana, bisa disamakan dengan shadr (dada), namun konsep shadr dalam Islam lebih lengkap ketimbang konsep psikis Barat yang enggan memasukkan unsur-unsur spiritual dan keilahian dalam konsepsinya. Al-Hakim At-Tirmidzi menjelaskan bahwa shadr itu menyerupai telaga yang menampung sekian banyak mata air, dari mulai ‘air keruh’ beserta kotoran dari sensasi inderawi, pikiran, hasrat, obsesi hingga ‘air mineral’ dari nafs, qalb, atau bahkan rûh. Namun karena teramat derasnya aliran ‘air keruh’ dari mata air lainnya, maka ‘telaga’ shadr tersebut menjadi kotor, hitam, penuh sampah dan hal itulah yang termanifestasi menjadi kepribadian psikis beserta segenap tabiatnya. Namun, tegas Zamzam, bagi yang telah Allah anugrahkan furqan—pembeda antara haqq dan bathil—yang berfungsi menyerupai ‘saringan’, segenap ‘aliran air’ menuju ‘telaga’ shadr akan disaring sehingga hanya unsur haq dari segala sesuatu sajalah yang masuk.
Ketika mati, jasad tidak meneruskan perjalanan ke mauthin barzakh seperti nafs. Di mauthin barzakh ini, nafs melanjutkan ‘perjalanan’ tanpa jasad yang telah terurai menyatu kembali dengan asalnya (yaitu, tanah). Apabila nafs bisa ditimpa azab kubur karena ternodai dosa, maka ruh sudah pasti diterima di sisi-Nya karena ruh tak pernah ternodai oleh dosa dan terkenai segala kelemahan makhluk.3 ‘Perjalanan’ nafs di mauthin barzakh ini merupakan simulasi ulang kehidupan di mauthin dunya, namun dengan berbagai pemanifestasian konkrit segala elemen dalam diri dan kehidupan di mauthin dunya yang tadinya abstrak atau tidak kongkrit, seperti hawa nafsu, syahwat, dosa dan amal buruk yang bermanifestasi menjadi sosok makhluk buruk rupa, atau Al-Quran yang biasa dibaca seorang muslim bermanifestasi menjadi sosok yang rupawan dan menemani nafs dalam ‘perjalanan’ tersebut (sebagaimana disebutkan dalam hadis), dan lain sebagainya.4
Setelah itu, nafs memasuki mauthin mahsyar. Di mauthin ini, nafs dipertemukan kembali dengan jasad yang dulu telah hancur terurai ‘dipeluk bumi’, namun sekalipun bahan baku pembentukannya kembali masih dari ‘tanah’ jasad yang dahulu, kini bentuk lahiriahnya sama sekali berbeda. Apabila di mauthin dunya yang menjadi cetakan jasad adalah aspek ‘kebumian’ kedua orangtua (sehingga anak memiliki aspek keserupaan fisik dengan orangtua dan para leluhurnya), maka di mauthin mahsyar yang menjadi cetakan adalah ‘kondisi’ batin nafs. Itulah sebabnya hadis menggambarkan bahwa di mauthin mahsyar manusia dikumpulkan dalam berbagai bentuk dan keadaan, seperti, perut yang buncit besar, lidah yang panjang terurai hingga tergelar laksana tikar dan terinjak-injak yang lain, hingga jasad-jasad yang menyerupai kompilasi bentuk sekian binatang, dan sebagainya. Sementara nafs yang suci dan bercahaya, maka jasadnya pun akan menjiplak kondisi tersebut.
Kemudian beralih lagi ke mauthin akhirat, yang terbagi menjadi surga dan neraka. Di mauthin ini, nafs dan jasad mendapatkan surga dan nerakanya masing-masing. Surga bagi jasad adalah makan dan minum yang enak, tidur nyenyak, bidadari atau perhiasan mewah, dan kenikmatan material lainnya, sedang surga bagi nafs bukanlah kenikmatan material tersebut, tetapi ‘ilm tentang Allah, al-haqq, berbagai cahaya yang Allah anugerahkan, dan seterusnya. Begitu juga neraka bagi jasad dan nafs.
Terakhir adalah mauthin al-katsîb, atau ‘tempat yang dekat’, merupakan mauthin di pinggiran surga, tempat nafs suci bisa menikmati surga yang tak pernah dicerap indera dan pikiran, yang tak terlintas dalam bayangan, yaitu bertemu dan menatap Allah, sebagaimana diungkap hadis: “Sesungguhnya Allah memiliki surga yang tak ada kenikmatan di dalamnya, selain Allah menampakkan Diri tertawa di dalamnya.”
Dari paparan ihwal mauthin di atas, kita bisa melihat bahwa oknum atau entitas yang selalu ada di semua tahapan mauthin tersebut adalah nafs. Dengan demikian terlihat jelas bahwa diri manusia yang sebenarnya itu adalah nafs, bukan jasad mau pun ruhnya. Namun nafs adalah entitas yang sering dikacaukan dengan pengertian psikologis yang memandangnya sebagai kualitas. Selain itu, nafs pun sering dikacaukan pengertiannya dengan hawa nafsu. Nafs adalah fokus pendidikan Ilahi dan “harus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah Al-Haqq.”5 Sejak awal, nafs memang sudah memiliki potensi pengetahuan, yaitu tentang dirinya sendiri. Karena itu, aksioma Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu terbagi menjadi tiga bagian, di mana frasa ‘arafa nafsahu menunjukkan proses sang nafs ketika berusaha memahami pengetahuan yang dikandung dalam dirinya. Frasa ‘arafa Rabbahu menunjukkan proses ketika datang pengetahuan dari Tuhan yang melegalkan (membenarkan maupun menyalahkan) pengetahuan sang diri manusia tentang nafsnya. Sementara kata faqad tidak mesti bermakna serial secara waktu, namun serial secara urutan sebab akibat. Dalam hal ini, Man ‘arafa nafsahu adalah sebab dari ‘arafa Rabbahu. Tuhan berkepentingan terhadap kebenaran proses pengenalan manusia terhadap dirinya, karena manusia diciptakan sesuai dengan citra-Nya, dan sebagai makhluk yang paling ‘mirip’ dengan-Nya, maka diri manusia membawa pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat akurasi dan kebenaran tertinggi di seluruh semesta alam. Ma‘rifat merupakan rahmat Tuhan terhadap hamba-Nya yang Dia kehendaki, yaitu rahmat kedua setelah kembali menjadi al-muthaharûn (tingkat kesucian bayi, yang merupakan rahmat pertama). Mengenai hal ini, Ibnu Atha‘illah mengatakannya dalam Al-Hikam:
Ketika terbuka kepadamu wajah pengenalan (ta‘aruf), maka jangan engkau hiraukan amalanmu yang sedikit itu. Sesungguhnya hal ini tidak terbuka bagimu melainkan karena Dia menghendaki pengenalan-Nya atasmu. Tidakkah kau ketahui bahwa sebuah pengenalan itu merupakan pengenalan ihwal Diri-Nya kepadamu, sedangkan amal itu sesuatu yang engkau hadiahkan kepada-Nya. Maka sepadankah antara apa yang engkau berikan kepada-Nya dengan Diri-Nya yang Dia berikan kepadamu?”
Bila dalam proses ‘arafa nafsahu subjeknya adalah jiwa (an-nafs), maka dalam proses ‘arafa Rabbahu subjeknya adalah Rûh Al-Quds. Rûh Al-Quds ini baru akan hadir bila nafs telah sempurna berproses, yaitu telah sampai ke derajat nafs al-muthmainnah. Hadirnya Rûh Al-Quds yang merupakan “utusan-Nya di dalam diri, yang membawa ketetapan-ketetapan hidup (‘amr) si nafs di dunia ini (lihat QS Asy-Syûra [42]: 52, langsung dari bahasa Qur`annya yang mana terdapat kalimah rûh dan ‘amr). Rûh Al-Quds merupakan juru nasihat si nafs dari dalam qalb, dan nafs yang telah diperkuat dengan rûh ini, selain disebut sebagai an-nafs an-natiqah (jiwa yang berkata-kata disebabkan adanya juru nasehat dari dalam qalbnya), juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainnah. Disebut muthmainnah karena si nafs tersebut telah stabil dalam orbit dirinya (qudrah diri/swadharma), di sini rûh tadi disebut pula sebagai sakinah (syekinah dalam bahasa Ibrani) yang diturunkan ke dalam qalb yang memperoleh kemenangan (al-fath) ‘amr.”6
Karena itulah kehadiran Rûh Al-Quds sangat terkait dengan amal shalih yang membuat nafs mampu menggunakan kekuatannya (aradh), maupun membuat tubuh mampu untuk menjalankan amal shalihnya, yaitu sesuai dengan kehendak Tuhan. Rûh Al-Quds ibarat sosok Rasul di suatu kaum, di mana kaum itu adalah diri al-mu‘min. Rûh Al-Quds berbeda dengan nafakh rûh atau nyawa, karena Rûh Al-Quds bukanlah wujud fisik sebagaimana nafakh ruh. Dia pun bukanlah aradh, sebab urusan (‘amr) Tuhan mustahil berupa tubuh maupun aradh. Rûh Al-Quds ini bersifat lathifah ‘alimah, yaitu sesuatu yang lembut (tidak bertubuh), memiliki ilmu dan memberikan kepahaman pada diri (nafs) manusia. Karena itu, bila dikaitkan dengan nafs, kehadiran Rûh Al-Quds ini adalah dalam posisi guru, pemberi pemahaman, dan yang mentransfer pengetahuan dari sisi Tuhan, dikarenakan an-nafs hanya mampu mengetahui kekuatan yang ada dalam dirinya saja. Entitas Rûh Al-Quds ini disebut dengan Rûh ‘Amr dalam terminologi Al-Ghazali.
0 Response to "PETA KEHIDUPAN"
Post a Comment