IDENTITAS ISLAM JAWA
Identitas Islam Jawa
Islam sebagai sebuah ajaran memiliki dimensi teologis (peribadatan) yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh ketundukan dan kepatuhan (taslīm). Pada dimensi ini setiap hamba dituntut untuk menerima segala konsekuensi ‘kehambaannya’ secara mutlak. Tetapi di sisi lain, Islam memiliki dimensi sosial yang selalu berkembang dan berinteraksi dengan budaya dan kultur masyarakat lokal. Proses tumbuh kembang Islam yang mampu berdialog dengan unsur lokal (akulturatif) pada gilirannya akan membentuk identitas Islam.
Jauh sebelum wacana ‘Islam Nusantara’ sebagai sebuah identitas ramai diperbincangkan beberapa waktu silam, Jawa telah memiliki identitas yang terbentuk dari dialog nilai-nilai agama dengan budaya yang telah mengakar kuat pada masyarakat Jawa. Secara garis besar, identitas Islam Jawa terbentuk semenjak penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali, yang kemudian dikenal dengan laqab walisongo, dengan gelar sunan.(1) Salah satu sosok yang berhasil merepresentasikan hasil dialogis akulturasi tersebut adalah Sunan Kalijaga. Dalam mensosialisasikan Islam, Sunan Kalijaga meng-apresiasi unsur lokal (wayang, tembang dan lain-lain), bahkan memanfaatkannya sebagai sarana dakwah. Hal ini menjadikan Islam dikenal sebagai agama yang damai, sehingga dapat mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Lebih jauh, akulturasi tersebut mampu mengubah pola pemikiran masyarakat Jawa menjadi Islami, dan meninggalkan Hinduisme secara perlahan.
Sebagai seorang waliyullāh, sunan Kalijaga merupakan sosok wali yang akomodatif terhadap budaya Jawa. Ia berhasil mempertemukan budaya lokal dengan nilai-nilai ajaran Islam dalam bingkai keharmonisan. Harmonisasi Islam dan budaya lokal menjadikan Islam dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai ajaran yang damai, santun, dan pro terhadap kebudayaan Jawa. Oleh karena itu menjadi tepat ketika Clifford Geertz menobatkan Sunan Kalijaga sebagai contoh sosok yang ideal bagi Islam Jawa.
Dalam dakwah, Sunan Kalijaga menegakkan konsep akulturasi, segala macam adat istiadat masyarakat Jawa yang masih bisa ditolerir dalam syariat Islam ditanamkan unsur-unsur Islam. Ini dimaksudkan agar agama Islam dapat segera diterima oleh penduduk lokal yang sudah memiliki budaya dan keyakinan yang mapan. Aktualisasi konsep akulturasi terbukti ampuh, banyak masyarakat Jawa yang pada akhirnya berbondong-bondong masuk Islam (yadkhulūna fī dīnillāhi afwāja).
Penegakan konsep akulturasi oleh Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajaran Islam didasarkan pada wahyu ilahi; ud’ū ila sabīli rabbika bil hikmah (ajaklah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah). Dalam menyebarkan agama pada masyarakat yang sudah kental dengan budaya dan agama yang dipeluk secara turun temurun, maka cara yang paling bijaksana adalah dengan mengapresiasi budaya yang berkembang dengan perlahan-lahan mulai memasukkan unsur Islam ke dalamnya. Dengan demikian, kehadiran Islam tidak dianggap sebagai unsur asing yang dapat mengancam eksistensi unsur lokal.
Dalam menegakkan konsep akulturasi budaya, upaya yang harus dilakukan adalah memahami betul kultur dan budaya yang berkembang di suatu daerah. Sunan Kalijaga yang notebene keturunan orang Jawa paham betul akan kondisi masyarakat Jawa. Budaya yang tertanam kuat secara turun temurun pada masyarakat Jawa pada akhirnya membuat Sunan Kalijaga berinisiatif untuk melakukan dakwah dengan mengakomodir budaya Jawa.
Sunan Kalijaga pernah mengemukakan gagasan konsep akulturasi yang diyakininya sebagai cara bijaksana dalam musyawarah dewan wali, ia mengusulkan agar budaya Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang, dan gamelan tetap dipelihara, akan tetapi dimasuki unsur-unsur Islam. Meskipun gagasan tersebut sempat memunculkan kekhawatiran Sunan Ampel, tetapi Sunan Kudus berhasil menguatkan pendapat sunan Kalijaga tersebut. (2) Pada akhirnya Sunan Kalijaga tetap pada pendiriannya untuk menggunakan unsur lokal dalam memperlancar proses Islamisasi Jawa.(3)
Masyarakat Jawa sebelum megenal ajaran Islam telah memiliki keyakinan dan kebudayaan yang dilakukan secara turun temurun. Pengaruh kuat tradisi Hindu-Budha seperti wayang tetap dilestarikan sebagai bentuk penghormatan. Melihat fakta tersebut lantas Sunan Kalijaga berupaya memasukkan unsur Islam ke dalam lakon wayang. Cerita yang masyhur dalam proses Islamisasi dengan wayang adalah lakon jimat kalimasada. Dalam lakon tersebut dikisahkan Prabu Puntadewa sebagai pemilik pusaka, sudah berusia lanjut tetapi tidak bisa mati sebelum mengungkap isi jimat tersebut. Tidak ada satupun brahmana dan ahli agama yang mampu mengurai makna itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Dalam pertemuan tersebut Sunan Kalijaga mengurai isi Jimat Kalimasada yang ternyata merupakan kalimat Syahadah yang berbunyi Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya.
Unsur lokal dalam pandangan Sunan Kalijaga adalah sarana efektif yang dapat digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Tidak hanya budaya wayang, kecintaan masyarakat Jawa pada tembang juga dimanfaatkan betul oleh Sunan Kalijaga dalam menyampaikan pesan-pesan tuhan dengan damai. Pola Islamisasi dengan mengawinkan budaya Jawa dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diusung oleh Sunan Kalijaga merubah corak pemikiran masyarakat Jawa menjadi islami, dan meninggalkan Hinduisme secara perlahan.
Penyebaran ajaran Islam oleh Sunan Kalijaga dapat dipahami sebagai konsep akulturasi. Penegakan konsep akulturasi tersebut hanya dapat dilaksanakan atas pemahaman tradisi dan budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa secara utuh. Sosialisasi ajaran Islam dengan melibatkan unsur lokal (akulturatif) ini menjadikan pemahaman masyarakat Jawa atas Islam sebagai agama yang damai, tidak mengancam kebudayaan yang ada. Ini menjadi kunci kesuksesan misi Islamisasi Jawa.
(1) Kata ‘sunan’ dalam masyarakat Jawa belum diketahui secara jelas asal usulnya, tapi mungkin berasal dari kata suhun yang berarti menghormati. Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Jakarta: Serambi, 2005), 40.
(2) M. Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), 196
(3) M. Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), 289.
Jauh sebelum wacana ‘Islam Nusantara’ sebagai sebuah identitas ramai diperbincangkan beberapa waktu silam, Jawa telah memiliki identitas yang terbentuk dari dialog nilai-nilai agama dengan budaya yang telah mengakar kuat pada masyarakat Jawa. Secara garis besar, identitas Islam Jawa terbentuk semenjak penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali, yang kemudian dikenal dengan laqab walisongo, dengan gelar sunan.(1) Salah satu sosok yang berhasil merepresentasikan hasil dialogis akulturasi tersebut adalah Sunan Kalijaga. Dalam mensosialisasikan Islam, Sunan Kalijaga meng-apresiasi unsur lokal (wayang, tembang dan lain-lain), bahkan memanfaatkannya sebagai sarana dakwah. Hal ini menjadikan Islam dikenal sebagai agama yang damai, sehingga dapat mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Lebih jauh, akulturasi tersebut mampu mengubah pola pemikiran masyarakat Jawa menjadi Islami, dan meninggalkan Hinduisme secara perlahan.
Sebagai seorang waliyullāh, sunan Kalijaga merupakan sosok wali yang akomodatif terhadap budaya Jawa. Ia berhasil mempertemukan budaya lokal dengan nilai-nilai ajaran Islam dalam bingkai keharmonisan. Harmonisasi Islam dan budaya lokal menjadikan Islam dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai ajaran yang damai, santun, dan pro terhadap kebudayaan Jawa. Oleh karena itu menjadi tepat ketika Clifford Geertz menobatkan Sunan Kalijaga sebagai contoh sosok yang ideal bagi Islam Jawa.
Dalam dakwah, Sunan Kalijaga menegakkan konsep akulturasi, segala macam adat istiadat masyarakat Jawa yang masih bisa ditolerir dalam syariat Islam ditanamkan unsur-unsur Islam. Ini dimaksudkan agar agama Islam dapat segera diterima oleh penduduk lokal yang sudah memiliki budaya dan keyakinan yang mapan. Aktualisasi konsep akulturasi terbukti ampuh, banyak masyarakat Jawa yang pada akhirnya berbondong-bondong masuk Islam (yadkhulūna fī dīnillāhi afwāja).
Penegakan konsep akulturasi oleh Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajaran Islam didasarkan pada wahyu ilahi; ud’ū ila sabīli rabbika bil hikmah (ajaklah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah). Dalam menyebarkan agama pada masyarakat yang sudah kental dengan budaya dan agama yang dipeluk secara turun temurun, maka cara yang paling bijaksana adalah dengan mengapresiasi budaya yang berkembang dengan perlahan-lahan mulai memasukkan unsur Islam ke dalamnya. Dengan demikian, kehadiran Islam tidak dianggap sebagai unsur asing yang dapat mengancam eksistensi unsur lokal.
Dalam menegakkan konsep akulturasi budaya, upaya yang harus dilakukan adalah memahami betul kultur dan budaya yang berkembang di suatu daerah. Sunan Kalijaga yang notebene keturunan orang Jawa paham betul akan kondisi masyarakat Jawa. Budaya yang tertanam kuat secara turun temurun pada masyarakat Jawa pada akhirnya membuat Sunan Kalijaga berinisiatif untuk melakukan dakwah dengan mengakomodir budaya Jawa.
Sunan Kalijaga pernah mengemukakan gagasan konsep akulturasi yang diyakininya sebagai cara bijaksana dalam musyawarah dewan wali, ia mengusulkan agar budaya Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang, dan gamelan tetap dipelihara, akan tetapi dimasuki unsur-unsur Islam. Meskipun gagasan tersebut sempat memunculkan kekhawatiran Sunan Ampel, tetapi Sunan Kudus berhasil menguatkan pendapat sunan Kalijaga tersebut. (2) Pada akhirnya Sunan Kalijaga tetap pada pendiriannya untuk menggunakan unsur lokal dalam memperlancar proses Islamisasi Jawa.(3)
Masyarakat Jawa sebelum megenal ajaran Islam telah memiliki keyakinan dan kebudayaan yang dilakukan secara turun temurun. Pengaruh kuat tradisi Hindu-Budha seperti wayang tetap dilestarikan sebagai bentuk penghormatan. Melihat fakta tersebut lantas Sunan Kalijaga berupaya memasukkan unsur Islam ke dalam lakon wayang. Cerita yang masyhur dalam proses Islamisasi dengan wayang adalah lakon jimat kalimasada. Dalam lakon tersebut dikisahkan Prabu Puntadewa sebagai pemilik pusaka, sudah berusia lanjut tetapi tidak bisa mati sebelum mengungkap isi jimat tersebut. Tidak ada satupun brahmana dan ahli agama yang mampu mengurai makna itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Dalam pertemuan tersebut Sunan Kalijaga mengurai isi Jimat Kalimasada yang ternyata merupakan kalimat Syahadah yang berbunyi Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya.
Unsur lokal dalam pandangan Sunan Kalijaga adalah sarana efektif yang dapat digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Tidak hanya budaya wayang, kecintaan masyarakat Jawa pada tembang juga dimanfaatkan betul oleh Sunan Kalijaga dalam menyampaikan pesan-pesan tuhan dengan damai. Pola Islamisasi dengan mengawinkan budaya Jawa dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diusung oleh Sunan Kalijaga merubah corak pemikiran masyarakat Jawa menjadi islami, dan meninggalkan Hinduisme secara perlahan.
Penyebaran ajaran Islam oleh Sunan Kalijaga dapat dipahami sebagai konsep akulturasi. Penegakan konsep akulturasi tersebut hanya dapat dilaksanakan atas pemahaman tradisi dan budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa secara utuh. Sosialisasi ajaran Islam dengan melibatkan unsur lokal (akulturatif) ini menjadikan pemahaman masyarakat Jawa atas Islam sebagai agama yang damai, tidak mengancam kebudayaan yang ada. Ini menjadi kunci kesuksesan misi Islamisasi Jawa.
(1) Kata ‘sunan’ dalam masyarakat Jawa belum diketahui secara jelas asal usulnya, tapi mungkin berasal dari kata suhun yang berarti menghormati. Lihat Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. (Jakarta: Serambi, 2005), 40.
(2) M. Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), 196
(3) M. Hariwijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), 289.
Sumber Info : https://kantongdosa.blogspot.com.
Penulis : Muhammad Ali
Editor : Nor Kolis
0 Response to "IDENTITAS ISLAM JAWA"
Posting Komentar