PENTINGNYA MENDAHULUKAN AKHLAQ DARI PADA ILMU
KECINTAAN kita kepada seorang alim, jangan sampai menimbulkan sikap taqlid dan menghilangkan sikap kritis. Namun hendaklah tetap selalu menjaga adab Islami. Syaikhul Islam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah berkata, “Rasa hormat saya kepada guru saya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak mengurangi kewajiban saya untuk tetap bersikap kritis terhadap fatwa dan pendapat beliau.”
Statement ini menyatakan bahwa, adab atau akhlak di atas segala-galanya. Bila kita berbeda pendapat dalam satu pemahaman (fiqh), maka tidak harus saling tuding menuding, apalagi menyatakan bahwa pendapatnya yang paling benar dengan ucapan yang menyakitkan hati orang lain. Namun berusahalah melakukannya dengan santun dan penuh kehormatan. Kita tidak dilarang untuk mengkritisi pendapat orang lain, tetapi harus tetap menjaga adab islami. Lalu coba kita bandingkan dengan persoalan sekarang ini. Banyak di antara kita yang katanya ‘berilmu’ tetapi sayangnya dalam mengungkapkan kata atau tulisan seperti tidak mempunyai adab (akhlak), sehingga bukan memecahkan masalah tetapi menambah masalah.
Kasus-kasus yang mengedepankan akhlak daripada fiqh bisa kita baca dalam kisah Imam Syafii dan Imam Malik. Kisah ini paling tidak akan membuka sedikit mata kita akan ego madzhab yang telah membuat umat berpecah belah dan menimbulkan gesekan keragaman dalam berislam.
Padahal kita yakin dan percaya para Imam Madzhab tersebut tidak ingin umat berpecah hanya gara-gara pendapat mereka yang berbeda. Ukhuwah islamiyahlah yang harus diutamakan dan dijaga bersama.
Ukhuwah tidak akan terbentuk tanpa adanya saling menghargai antara sesama muslim dan menghargai pendapat madzhab yang lain.
Imam Syafi’i yang merupakan tokoh pendiri Mazhab Syafi’i. Beliau dikenal sangat cerdas. Di mana sejak usia 7 tahun sudah hafal Alquran. Ia merupakan murid dari tokoh besar pendiri Mazhab Maliki yaitu Imam Malik. Beliau berasal dari keluarga terhormat, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Kakeknya, Abu Amir termasuk keluarga pertama yang memeluk agama Islam dan juga menjadi ulama hadis terpandang di Madinah.
Sejak Muda, Imam Malik menjadi orang yang cinta kepada ilmu. Beliau belajar ilmu hadis pada ayah dan paman-pamannya. Al-Muwatta’ adalah kitab yang ia tulis yang merupakan kitab fikih yang berdasar dari kumpulan hadis-hadis pilihan.
Imam Syafi’i dan Imam Malik bertemu di Madinah. Setelah berguru pada banyak ulama di Mekah, Imam Syafi’i ingin sekali melanjutkan pengembaraannya ke Madinah. Apalagi beliau mengetahui di Madinah ada Imam Malik, ulama yang termashur itu. Di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i melafalkan al-Muwatta’, kitab yang sebelumnya sudah dihafalnya sejak masih berusia muda. Imam Malik sangat kagum pada Imam Syafi’i dan begitulah hubungan antara kedua tokoh besar itu selanjutnya.
Dalam tradisi Mazhab Syafi’i, saat melaksanakan salat Subuh dibacakan doa qunut. Berbeda dalam tradisi Mazhab Maliki, tak ada doa qunut dalam salat subuh. Namun, perbedaan tradisi itu tak membuat hubungan keduanya retak. Mereka tetap menjadi guru dan murid yang saling menghormati pendapat masing-masing.
Suatu hari, Imam Syafi’i berkunjung dan menginap di rumah Imam Malik. Saling berkunjung dan menginap itu sudah menjadi kebiasaan antara keduanya. Imam Syafi’i diminta gurunya menjadi imam saat melaksanakan salat subuh. Karena ingin menghormati gurunya, Imam Syafi’i tidak membaca doa qunut dalam salat berjama’ah itu.
Begitu pun sebaliknya. Di lain hari, Imam Malik menginap di kediaman Imam Syafi’i. Saat Shubuh, mereka melaksanakan salat subuh berjama’ah, Imam Syafi’i meminta gurunya menjadi imam salat. Dengan alasan yang sama, Imam Malik pun membaca doa qunut. Inilah sebuah pelajaran besar yang patut kita teladani, di mana akhlak lebih didahulukan daripada fiqh. Ilmu memang memilki derajat yang tinggi di hadapan Allah, namun adab adalah buah nyata dari ilmu itu.
Sikap kritis terhadap pendapat manusia adalah kewajiban setiap orang yang tidak ingin disebut muqollid (taqlid). Namun adab terhadap ilmu dan ahlul ilmi melebihi tingginya kewajiban untuk bersikap kritis tersebut.
Para salafus shalih mengajarkan kepada kita betapa adab adalah tanda dalamnya ilmu dan tingginya wara’ seseorang dan tawadhu’ terhadap ilmu dan adab walaupun itu dimiliki olah orang yang usianya jauh lebih muda darinya.
“Ilmu bukanlah diukur dengan apa yang telah dihafal oleh seseorang, tetapi diukur dengan apa yang bermanfaat bagi dirinya.” Diriwayatkan dari Musa bin Nushair, beliau berkata: “Aku mendengar Isa bin Hammad menasehati para pelajar ilmu hadits: “Pelajarilah kelembutan hati dan kerandahan jiwa sebelum kalian belajar ilmu.”
Imam Ibnu Wahab berkata: “Aku lebih mengutamakan belajar adab kepada Imam Malik dibanding belajar ilmu darinya.”
Imam Ibnul Mubarak menyusun sebuah syair: Wahai para penuntut ilmu, datanglah kepada Imam Hammad bin Zaid Dan belajarlah ilmu dan kelembutan hati lalu ikatlah dengan pengikat yang kuat Banyak sekali pernyataan-pernyataan yang memunculkan untuk mendahulukan adab atau akhlak daripada ilmu. Dan ini merupakan rambu-rambu yang dipatuhi para ulama terdahulu.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Tampaknya orang lebih mendahulukan ilmu daripada adab atau akhlak. Jika terjadi perbedaan maka ia merasa lebih hebat dari orang lain, lebih tahu dari orang lain sehingga berusaha ‘menjatuhkan’ orang yang berbeda pendapat dengannya. Hal ini dikarenakan saat ini sepertinya lebih mementingkan ilmu daripada adab.
Karena itu, mari menjadikan Ramadan ini sebagai bahan untuk introspeksi dengan apa yang kita lakukan selama ini. Apakah kita masih mendahulukan ilmu atau fiqh daripada akhlak atau sebaliknya.
Mudah-mudahan kisah tentang bagaimana akhlak Imam Syafi terhadap Imam Malik dan sebaliknya Imam Malik terhadap Imam Syafii di atas memberikan makna dalam hidup kita. Semoga.
Sumber Info : https://kantongdosa.blogspot.com
Penulis : Muhammad Ali
Editor : Nor Kolis
0 Response to "PENTINGNYA MENDAHULUKAN AKHLAQ DARI PADA ILMU"
Posting Komentar