Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani
Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani
Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna di dunia ini. Hal ini, seperti yang disampaikan Ibnu Arabi, manusia bukan hanya karena merupakan khalifah Allah di bumi yang dibuat sesuai dengan citra-Nya, tetapi juga karena ia merupakan madzaz (penampakan atau tempat pemikiran) asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan lengkap.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dibuat dari alam jisim, kemudian Allah diambilkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Karena itu Aku berhasil menyelesaikan kejadiannya, dan telah merebutkan ke dalam ruh (ciptaan) -Ku, maka mengumpulkanlah kamu untuk melakukannya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, alat bantu, perkakas atau kendaraan bagi umat dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya yang dikeluarkan jasad diciptakan yang diciptakan dari materi yang tidak pasti, akan tetapi spiritual yang dapat mempercayai yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan oleh para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Dapatkan dari alam arwah dan gunakan jasad sebagai alatnya. Sementara jasad berasal dari alam ciptaan, yang dibuat dari bahan tidak. Tapi para ahli sufi menghitung ruh dan jiwa. Kembali dari tabiat Ilahi dan ganti kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada di dalam tanah suci.
Karena ruh berarti kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan cocok dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia bekerja sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali terbagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (jiwa) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Sementara jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya memenuhi, sedangkan jiwa insani memiliki kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Terkait dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan dipertimbangkannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah mengapa manusia memiliki sifat yang sesuai dengan keadaannya.
Ketika jiwa keluar dan patuh pada kemahuan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh mencoba kejahatan. Firman Allah,"Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyusahkan kejahatan." (QS Ar-Ra'd: 53)
Jika jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan teledor yang dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)
Namun, kebebasan jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah memutuskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah ke hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa memiliki tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi milik sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
disetujui Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya memiliki satu sifat, yaitu suci. Sementara jiwa memiliki beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa dan kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan."(QS Asy-Syams: 7-8). Terkait, dengan jiwa yang berpotensi buruk, karena itu adalah jiwa yang berjuang dengan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logo atau intelek (kecerdasan) dalam bahasa Inggris adalah daya pikir yang ada dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada di hati disebut jantung (dzauq). Karena ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Jika para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkat tertinggi — akal harus (akal mustafad) —ia dapat memahami kebahagiaan dan memperoleh diperolehnya. Akal yang dengan demikian akan membuat jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika pantas yang harus diakui kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak bisa diterima. Jiwa yang dengan demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Sementara akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sementara menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam pengetahuan dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kompilasi akan sampai ke tingkat akal yang disetujui.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Namun, dalam pembahasan ini kami memakai kata hati yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini membahas objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang terkaitnya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Apa yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani - daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada di hati, di rongga dada. Dan daya berfikir keluar yang disebut dengan rasa (dzauq), yang diperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam menyetujui ini Allah berfirman,"Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, berdasarkan para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia yang berfikir manusia (nafs insaniyah), tetapi masing-masing berbeda sesuai dengan cara memperoleh kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang mengubah nurani sebagai wadah atau sumber ma'rifat — suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya memungkinkan jika hati harus bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta melibatkan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, melewati hidup zuhud yang penuh taqwa, wara 'dan dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi adalah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah kesehatan hati dan hal ini yang lebih penting membahas kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hidup yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang dibiarkan berubah akan berkembang lebih banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani — hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang disetujui dengan firman Allah yang dimaksudkan, "Sesungguhnya yang beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang ada di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah dan keterpisahan dengan meminta hawa nafsu meminta yang membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, memproteksi karena mempelajarinya, mengkajinya, atau menulis buku, tetapi dengan mempertanyakan buku tentang dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan, dan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi melalui pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu memiliki keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu mempertimbangkan manusia untuk mengambil hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam kendali dan pengontrolan hati dzulmani.
Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya. Setelah jasad Adam dibuat dari alam jisim, kemudian Allah diambilkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman, "Karena itu Aku berhasil menyelesaikan kejadiannya, dan telah merebutkan ke dalam ruh (ciptaan) -Ku, maka mengumpulkanlah kamu untuk melakukannya dengan bersujud." (QS Al-Hijr: 29)
Jadi jasad manusia, menurut para sufi, alat bantu, perkakas atau kendaraan bagi umat dalam melakukan aktivitasnya. Manusia pada hakikatnya yang dikeluarkan jasad diciptakan yang diciptakan dari materi yang tidak pasti, akan tetapi spiritual yang dapat mempercayai yang selalu mempergunakan tugasnya.
Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukan oleh para sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh), jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung (al-qalb).
Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Dapatkan dari alam arwah dan gunakan jasad sebagai alatnya. Sementara jasad berasal dari alam ciptaan, yang dibuat dari bahan tidak. Tapi para ahli sufi menghitung ruh dan jiwa. Kembali dari tabiat Ilahi dan ganti kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap berada di dalam tanah suci.
Karena ruh berarti kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan cocok dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia bekerja sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali terbagi jiwa pada; jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (jiwa) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Sementara jiwa hewani, di samping memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yang dan daya memenuhi, sedangkan jiwa insani memiliki kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs al-nathiqah atau al-nafs al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakikat atau pribadi manusia. Terkait dengan hakikat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, dzatnya dan dipertimbangkannya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah mengapa manusia memiliki sifat yang sesuai dengan keadaannya.
Ketika jiwa keluar dan patuh pada kemahuan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh mencoba kejahatan. Firman Allah,"Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyusahkan kejahatan." (QS Ar-Ra'd: 53)
Jika jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan dan teledor yang dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS Al-Qiyamah: 2)
Namun, kebebasan jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah memutuskan, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhai, dan masuklah ke hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam Surga-Ku." (QS Al-Fajr: 27-30)
Jadi, jiwa memiliki tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi milik sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
disetujui Allah langsung masuk surga.
Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya memiliki satu sifat, yaitu suci. Sementara jiwa memiliki beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan, "Demi jiwa dan kesempurnaan-Nya, Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan."(QS Asy-Syams: 7-8). Terkait, dengan jiwa yang berpotensi buruk, karena itu adalah jiwa yang berjuang dengan baik dan buruk.
Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logo atau intelek (kecerdasan) dalam bahasa Inggris adalah daya pikir yang ada dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada di hati disebut jantung (dzauq). Karena ada dua sumber pengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Jika para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkat tertinggi — akal harus (akal mustafad) —ia dapat memahami kebahagiaan dan memperoleh diperolehnya. Akal yang dengan demikian akan membuat jiwanya kekal dalam kebahagiaan (surga). Namun, jika pantas yang harus diakui kebahagiaan itu berpaling, berarti ia tidak bisa diterima. Jiwa yang dengan demikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka).
Sementara akal yang tidak sempurna dan tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut Al-Farabi, jiwa yang demikian akan hancur. Sementara menurut para filsuf tidak hancur. Karena kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan pengetahuan akal dalam pengetahuan dan memperoleh kebahagiaan yang tertinggi, yaitu kompilasi akan sampai ke tingkat akal yang disetujui.
Hati Sukma (Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Namun, dalam pembahasan ini kami memakai kata hati yang sudah biasa. Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak di dada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini membahas objek kajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang terkaitnya bisa lebih luas, misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Apa yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus, hati-nurani - daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada di hati, di rongga dada. Dan daya berfikir keluar yang disebut dengan rasa (dzauq), yang diperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam menyetujui ini Allah berfirman,"Mereka memiliki hati, tetapi tidak digunakan memahaminya." (QS Al-A'raaf: 179)
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, berdasarkan para filsuf dan sufi Islam, hakikat manusia yang berfikir manusia (nafs insaniyah), tetapi masing-masing berbeda sesuai dengan cara memperoleh kesempurnaan manusia. Bagi para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang mengubah nurani sebagai wadah atau sumber ma'rifat — suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya memungkinkan jika hati harus bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta melibatkan moral yang tercela dengan moral yang terpuji, melewati hidup zuhud yang penuh taqwa, wara 'dan dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapat menjadi sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapai pengenalan Allah. Dengan demikian, poros jalan sufi adalah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah kesehatan hati dan hal ini yang lebih penting membahas kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat kehidupan di dunia ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hidup yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang dibiarkan berubah akan berkembang lebih banyak dan akan berubah menjadi hati dzulmani — hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil perjuangan antara hati nurani dan hati dzulmani. Inilah yang disetujui dengan firman Allah yang dimaksudkan, "Sesungguhnya yang beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy-Syams: 8-9)
Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar realitas yang ada di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah dan keterpisahan dengan meminta hawa nafsu meminta yang membuat hati-nurani bersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah SWT.
Bagi para sufi, kata Al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, memproteksi karena mempelajarinya, mengkajinya, atau menulis buku, tetapi dengan mempertanyakan buku tentang dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan, dan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadah, tanpa belajar, tetapi melalui pancaran cahaya dari ilham Ilahi.
Hati atau sukma dzulmani selalu memiliki keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalu mempertimbangkan manusia untuk mengambil hawa nafsunya. Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani dalam kendali dan pengontrolan hati dzulmani.