MENGENAL ALLAH ITU WAJIB کنت کنزاً مخفیاً فأ ﺭﺪ ﺕ أن أعرف فخلقت الخلق لکی أعرف Kuntu kanzan makhfiyyan fa `aradtu an u`rafa fa khalaqtu ‘l-khalq li-kay u’raf. “Aku adalah khazanah tersembunyi. Aku berkehendak untuk dikenal maka Ku-ciptakan makhluk sehingga dengan-Ku mereka mengenal-Ku.” Tujuan penciptaan makhluk ialah agar makhluk mengenal Penciptanya. Jadi, Allâhﷻ utamanya berkehendak untuk dikenali. Allâhﷻ tidak membutuhkan ibadah kita sama sekali, terlebih lagi apabila kita tidak mengenal apa-siapa-bagaimana yang disebut Tuhan itu. Apa sebab? Sebab seisi langit-bumi tidak menyembah-Nya pun Allâhﷻ tetaplah Tuhan. Ad-dīnul aqli! Apalagi jelas, setiap yang bersifat "membutuhkan", pasti bukan Tuhan. Ad-dīnul aqli! Tapi bukannya memikirkan Allâhﷻ itu dilarang? Betul. Tapi mengenal Allâhﷻ itu wajib. Maksudnya? Maksudnya, kita wajib mengenal apa-siapa-bagaimana Allâhﷻ itu sampai kita paham dan sadar bahwa yang disebut Tuhan itu tidak bisa dipikir-pikir, tidak bisa dirasa-rasa, bahkan tidak bisa disebut. Sebab setiap yang bisa dipikir pasti bukan Allâhﷻ, sebab setiap yang bisa dirasa pasti bukan Allâhﷻ, sebab setiap yang bisa disebut pasti bukan Allâhﷻ. لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬ۖ — Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (Q.S. Asy-Syura [42]:11) Kata "Allâh" <~~ ini Nama-Nya, Diri Yang Punya Nama yang mana? Yang Tidak Bisa Disebut. Yang Tidak Bisa Dipikir, dst. Nah, kalau pemahaman kita sudah sampai pada formula ini:⠀ "Allâhﷻ itu tidak sama dengan segala sesuatu yang bisa disebut-dipikir-dirasa", barulah kita stop perjalanan iqra mengenal Allâhﷻ sampai di situ. Jangan dipikir-pikir lagi soal Allâhﷻ itu beginikah atau begitukah. <~~ inilah yang diharamkan. Sudah tahu tidak bisa dipikirkan, kalau memaksa dipikir-pikirkan juga, bisa gila kamu. Inilah maksud judul status di atas. Mengenal-Nya wajib, memikirkan-Nya haram. Jangan terbalik, kebanyakan kita sebelum ini tidak mau berpikir dan memikirkan perihal ini. Belum apa-apa, sudah apriori terhadap bahasan-bahasan ilmu tauhid. Lupa kalau wahyu pertama-perintah pertama-ayat pertama-syariat pertama itu bunyinya: IQRA! Lupa kalau Nabi Ibrahim a.s. itu digelari Khalilullâh (Kekasih Allâh) dan secara aklamasi dinobatkan sebagai Bapak Tauhid itu karena beliau akhirnya "menemukan Tuhan" melalui perjalanan iqra. Firman Allâhﷻ dalam Q.S. Al-An’am 76-79: 76. "Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". 77. "Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat". 78. "Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." 79. "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." "Banyak orang tahu Tuhan, sedikit sekali yang mau kenal Tuhan."
Inilah yang banyak dilalaikan ulama masa kini dalam dakwahnya: lebih banyak bicara soal hukum dan akhlak, sedangkan pengenalan tentang Allâhﷻ sering diabaikan. Padahal awwaludīn ma`rifatullâh = Padahal kalau pahaman tauhid sudah mantap, pemahaman umat soal hukum dan akhlak pun bisa lebih paripurna. Ulamanya lalai sehingga umat terlebih lalai. Islam itu dibangun dengan uṣuluddin, yaitu uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ. Mengapa tema-tema dakwah selama ini kadarnya tidak berimbang di antara keduanya (uṣul tauḥīd dan uṣul fiqḥ)? Itulah PR bagi siapa pun Anda yang disebut ulama, kiyai, habaib, ustaż, da`i, gus, dan tuan-tuan guru.
MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MAKHLUK
Syaikh Abu Yazid al-Bistami ditanya oleh seseorang, “Mengapa Allah menciptakan makhluk?” Ia menjawab, “Allah menciptakan makhluk untuk… menunjukkan kekuasaan-Nya; Dia memberikan rezeki kepada mereka untuk menunjukkan kemurahan-Nya; Dia menghidupkan mereka untuk menunjukkan kebesaran-Nya; Dia mematikan mereka untuk menunjukkan keperkasaan-Nya; Dia menghitung amal mereka untuk menunjukkan keadilan-Nya; ... Dia memasukkan mereka ke dalam surga untuk menunjukkan karunia dan kasih sayang-Nya; Dia memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka untuk menunjukkan murka dan azab-Nya.” Di samping itu, alasan Allah menciptakan alam semesta karena mereka akan memuji dan membesarkan-Nya. ... Hal ini kemudian diperjelas dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan firman Allah: “Khalaqtu al-khalq liyurbihu li wa la arbaha ‘alayhim“, ‘Aku ciptakan makhluk supaya mereka mengambil manfaat dari-Ku, dan sekali-sekali Aku tidak mengambil manfaat dari mereka’. Firman Allah Swt. tatkala menjawab pertanyaan Nabi Daud a.s. yang datang bersujud kepada-Nya seraya bertanya, “Ya Tuhanku! Apa alasan Engkau menciptakan makhluk?” Allah pun menjawab, “Kuntu kunuzun makhfiyya, fa ahbabtu an u’raf, fakhalaqtu al-khalqa li’uraf” “Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, padahal Aku sangat ingin dikenal. Oleh karena itu, Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.” Seperti Firman Allah dalam Adh-Dhariyat (51) ayat: 56 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Menurut Ibn Abbas–seorang mufasir Alquran yang hidup sezaman dan diakui ketajamannya oleh Rasulullah Saw.– frasa “beribadah kepada-Ku (ya’ buduuni) bermakna “mengetahui-Ku (ya’rifuuni)” atau lebih tegas lagi “mengenal-Ku.”
MENGENAL DIRI RUH
Yang akan berlaku dalam kajian ini bagi Anda, insyaAllah adalah ayat berikut. Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka Barangsiapa melihat [kebenaran itu], maka [manfa’atnya] bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa buta [tidak melihat kebenaran itu], maka kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku [Muhammad] sekali-kali bukanlah pemelihara [mu]. [Q.S. Al-An`am: 104] Maksudnya, jika Allah berkenan mengaruniakan paham pada Anda, kemanfaatannya bagi Anda sendiri. Sebaliknya, jika Anda membaca ini dengan tersalah paham, artinya kaji ini bisa jadi kemudharatan bagi Anda. Jadi, berhati-hatilah mengambil paham dari bacaan ini. Bila ada yang perlu ditanyakan, jangan diam lalu Anda berkoar-koar fitnah pada kami. Kami berani menyampaikan ini untuk publik sebab pengetahuan ini adalah hak bagi setiap umat Muhammad Saw. dan kewajiban menyampaikan bagi yang sudah memahami. Berprasangka baik, itu yang utama di sini. Mudah-mudahan Allah memahamkan. InsyaAllah. Aamiin. MENGENAL DIRI Mengenal diri dan beramal. Ini yang diterima Allah. Mengenal diri tidak beramal, inilah orang siksa. Sebab Nabi Muhammad Rasulullah Saw. berilmu dan beramal lagi kedudukannya paling tinggi, bahkan tidak ada Tuhan yang dijumpai di kemudian hari, hanya Muhammad Saw., sebagai syafa`atul uzma. “Ana Abu al-arwah wa Adama Abu al-basyar” Aku adalah bagaikan Bapak sekalian Ruh, sedangkan Adam adalah bagaikan Bapak sekalian Tubuh. Yang namanya Muhammad itu sudah cukup. Awal mula terjadi sebelumnya, Dia Berkata-kata pada hamba-Nya dengan "laa bi harfin wa laa shautin". Ketika itu Adam belum ada karena belum ada sesuatu [baharu alam]. Yang ada Muhammad dan Nur. Kemudian yang satu raib dan yang satu "melompat", bangunlah Adam. Makanya se-Zat, se-Sifat, se-Asma, dan se-Af`al. Adam itulah satu alam semesta dan satu maharuang [Adam sebagai bapak sekalian jasad]. Penghabisan pandangan, satu saja. Inilah pandangan Nabi Muhammad Saw.: pandang Satu kepada yang Satu. Karena dari yang Satu itulah adanya banyak. Karena dari yang Satu itulah kepada yang banyak. Adapun kita ini Rabbul Alamin [khalifah; wakil Allah di muka bumi ]. Menentukan penghabisan ini hanya kepada yang berpengetahuan. Ketinggian ilmu dan ketuaan agama, pandai-pandai dirinya dikatakan Tuhan. Itu juga dihalalkan, itu juga yang diharamkan. Sebab Ruhul Qudus itu diri kamu juga [Q.S. Adz-Dzariat:20-21]. Makanya hendaklah disatukan [baca: diesakan| kalau tidak diesakan, zindik dan atau syirik] Yang Menjadikan dan yang dijadikan itu satu. Diri di dalam sama-tengah hatimu, itu diri kamu juga [Ruhul Qudus]. Hendaklah diesakan dengan jasad, barulah kita bernyawa rabbani. Penghabisan kalam Nabi Muhammad Rasulullah Saw., "Ummati, ...shalli, shalli, shalli." Di dalam shalat kita berjumpa karena di dalam shalat hanya beliau saja [Muhammad] dengan Allah yang disebut. Barangsiapa memandang dirinya bersih [putih mukhalafah]; suka Allah Ta'ala. Itulah umat Muhammad Saw. Oleh sebab itu dalam tafakur, kalau kondisi kita sudah diam sediam-diamnya; pengingatan sadar ke kosong [maharuang], perasaan akan merasa ada di kosong. Kalau kita pakai nyawa hakiki, itu adalah pengingatan. Zat dan Sifat itu bagaimana? Zat [Mutlak] itu Diri-Nya, Sifat itu Asma-Nya. Alif itu menunjukkan adanya Zat. Lam pertama, Asma-Nya. Lam kedua, itu Sifat-Nya. Ha itu Kecukupan-Nya. Pertemuan Lam pertama dan Lam kedua, jadilah sabdu [tasdid]. Sabdu itu Nur. Yang di atas sabdu, itulah Allah. Yang ditunjuk oleh alif di atas sabdu, itulah Allah. Adapun Zat-Sifat itu Kemahaesaan-Nya. Kemahaesaan-Nya inilah Sifat Jalal. Oleh orang tauhid, Sifat Jalal itu dikatakan sebagai Sifat Kebesaran Allah [Adz-Dzariat:20]. Tuhan terlindung oleh Sifat Jalal-Nya. Sifat Jalal itu Sifat Kebesaran Tuhan. Itulah Tubuh Maharuang atau Kosong. Dan Maharuang itu juga Zat Mutlak. Zat Mutlak ini juga disebut Nur Ilahi. Inilah Kemahaesaan Tuhan. Kemahaesaan Tuhan inilah Cahaya Diri Tuhan [Nur Ilahi]. Karena Cahaya Diri Tuhan ini juga adalah Kebesaran Diri Tuhan, dinamailah ALLAH. Jadi, ALLAH itu Nama Kebesaran bagi Zat Mutlak [Zahiru Rabbi].[Q.S. Nur:35] Jadi, Cahaya Diri Tuhan itulah Kebesaran Diri Tuhan yang dinamai ALLAH. Tuhan tidak ber-Nama, Kebesaran-Nya itulah yang bernama ALLAH, maka dikatakan ALLAH itu Ismu Zat [Nama bagi Zat atau Nama Kebesaran Zat Mutlak] Yang pentig setiap tahu nama, mustilah kita kenal pribadinya. Maka dalam ibadah shalat sewaktu kita takbir ihram, jangan ada lagi ber-i`tikad-i`tikad. Karena besarnya Kebesaran Tuhan itu kita tidak tahu: sudah laysa kamitslihi syaiun. TAKBIR IHRAM YANG SEMPURNA Waktu menyebut takbir, jangan ada hati berkata-kata lagi. Jangan ada ingat sesuatu lagi. Batal takbirnya. Ingat, yang dikatakan niat kamaliyah itu niat yang sempurna. Tidak ada lagi berniat ini-itu di dalam takbir ihram. Ucapkan sajalah. Dan sebaik-baik ucapan takbir itu dengan menyempurnakan mad badal-nya [tiga harakat|tiga alif]. Ini artinya, shalat orang tauhid tidak meninggalkan hukum tajwid. Begitulah cara orang tauhid dalam beribadah. Mengapa ketika shalat kita menyebut, "Allaaaahu Akbar!" ? Karena yang betul-betul tidak kitak ketahui itu Besar-Nya. Kalau besarnya sesuatu dapat dikira-kira, diukur-ukur. Kalau besar-Nya Allah, tidak ada yang bisa mengetahuinya dengan alat apa pun juga. TAKBIR IHRAM YANG RUSAK Ketika takbir, jangan ada dimasuk-masukkan i`tikad ini-itu. Takbir itu satu kali saja. Tidak ada takbir dua-tiga kali. Banyak perbuatan yang mengada-ada. Takbir sekali, turun lagi, takbir lagi tidak jadi lagi, barulah takbir diselesaikan. Mengapa terjadi begitu? Karena mereka belum paham tentan yang disebut takbir ihram itu. Allah paling tidak suka perbuatan mengada-ada [bid`ah].
PRAKTEK KASYAF
Tuhan itu wajib kita sadari saja ADA. Sadari Tuhan beserta kita dan kita dengan Tuhan Maha Esa. Yang Maha Esa itu Tuhan, bukan kita. Yang dimaksud Maha Esa itu tidak bercerai, tidak bersekutu; tidak ada antaranya: tidak jauh, tidak dekat. Satu, tidak mengenal dua [=tunggal]. Sadari maharuang itu Zat-Mutlak. Tentulah kita sadar keberadaan kita ada di dalam Zat-Mutlak. Kalau kesadaran men-"jadi"; kita tidak tidur di dunia lagi, tetapi tidur di tempat husnul khatimah: tempat yang penuh rahmat. Yang namanya ilmu kasyaf itu tidak pakai baca-baca lagi. Cukup dengan sadar saja, bisa jadi segala-galanya. Kalau dengan kesadaran saja men-"jadi", lalu buat apa pakai tapa-tapa, bakar-bakar kemenyan, pakai pesugihan-pesugihan. Semua itu cara-cara jin, setan, Iblis! Kita ini diciptakan Tuhan sebagai manusia. Pakai Tuhanlah, Bodoh! Goblok kalau tidak pakai Tuhan. Hal salah, banyak orang tahu. Tetapi dirinya tersalah, tidak tahu. Makanya kalau kita tahu, lebih baik diam. Selamatlah kita. Jangan mengaku tahu, rupanya tidak tahu. Celakalah kita dan pengikut-pengikut kita. Mengaku sampai, padahal tidak sampai. Bala yang didapat. Kalau sudah duduk di maqam kasyaf, tidak ada menyatu-satukan lagi, tidak ada mengingat-ingat lagi , dan tidak ada tafakur-tafakur lagi. Setiap detik, setiap sekon, mahaesa terus sampai yaumil qiyamah. Belajarlah betul-betul pada ahlinya, jangan pada yang pandai omong saja. Sekolahan formal saja, selesai sekolah dasar lalu ke menengah hingga ke perguruan tinggi. Selesai masa-masa semester dilalui, bawalah kesarjanaanmu. Begitu juga kalau guru sudah mendudukkan kamu di maqam kasyaf, bawalah kesarjanaan ketuhananmu. Berlaku di dunia dan di akhirat. Kadang-kadang aku sedih melihat di luar sana banyak orang yang rajin belajar, tapi tidak ada guru yang dapat mendudukkannya di maqam kasyaf. Di Al-Mukminuun jelas-jelas diberi tahu. Belajar sampai ruhani saja sudah duduk di tingkat kasyaf. Pelajaran akhir selanjutnya untuk mengembangkan keruhanian. Pelajaran pertama: kejasmanian. Pelajaran kedua: keruhanian. Pelajaran ketiga: kenuranian. Pelajaran keempat: kerabbanian. Pelajaran kelima: kerja nyata. Tangan lengkap jarinya ada lima. Satu jari saja tidak ada, disebut tangan berjari buntung. Kalau jari murid cacat, susah buat kerja dong, Tuan Guru. Ilmu kasyaf ini tingkat akhir untuk kemahaesaan. Mukadimah, Babul Awwal: Kasyaf jasmani menghantarkan ke kasyaf ruhani; kasyaf ruhani menghantarkan ke kasyaf nurani; kasyar nurani menghantarkan ke kasyaf rabbani. Kasyaf rabbani menimbulkan mu'ayanah atau pembuktian-pembuktian nyata yang membersihkan keraguan. Muncul kekuatan keyakinan dan kejazaman. Kita bersih dari keragu-raguan lagi ketika menerima ajaran qadim pada diri kita. Kita tahu dan bisa membedakan yang mana dari jin, setan, Iblis dan yang mana dari Yang Haq. Bersih dari tipuan-tipuan laknatullah.
TAK KENAL MUHAMMAD TAK KENAL ALLAH
Allah jadikan sekalian alam karena Muhammad. Kenalilah Muhammad itu. Allah saja dikenal, sedangkan Muhammad disepelekan. Siapa syafa`atul uzma itu di kemudian hari? Mana awal Muhammad, akhir Muhammad, zahir Muhammad, batin Muhammad? Mana kejadian zahir dan mana kejadian ruhani, nurani, dan rabbani? Mana tempat muhaddas dan qadim? Tempat air pada syariat saja bermacam-macam, gelas, ember, drum, dan lain-lain. Kalau kamu orang yang tahu, kamu pasti dapat mengembalikan nyawa pada tempatnya. Lihat Al-Waqiah: 82 dan seterusnya kalau mau tahu soal mati husnul khatimah. "Al insanu sirrihi," pada manusia ada Rahasia-Ku. Di mana Rahasia Tuhan itu? Pada kita di sama-tengah hati. Adanya yakni di dalam pusat, disebut ruh qudus; tubuh Muhammad Rasulullah; zat mutlak; Rahasia Tuhan. Ini tubuh tajalli yang bila meliputi jasad, hiduplah orang itu dari alam barzakh sampai yaumil qiyamah karena ruh qudus dengan jasadnya tidak becerai. Dalam tafakur hendaklah berkhidmat seluruh zahir-batin. Hilang-lenyap satu dengan ruh qudus yang di sama-tengah hatimu. Sah tafakurmu, ruh qudus diam. Bernyawa dengan hakiki, yakni Nur. Hendaklah perasaan sampai pusat diamnya. "Orang yang diam" ini musti dikenal. "Orang" ini tajalli Allah. Bukan Allahnya yang tajalli, melainkan Rahasia Allah itu yang tajalli meliputi jasad. Orang itu tidak bertubuh dunia lagi, sudah bertubuh akhirat: hidup tiada mati-tiada binasa sampai yaumil qiyamah. Diri tajalli itu Rahasia Tuhan Yang Mahakuasa. Jalan tajalli itu ada di dalam diam. Lakukanlah diam sediam-diamnya. Bagaimana mau "lenyap" kepada Allah kalau masih keadaan makhluk saja yang ada. Bahkan ada yang melihat-Nya berupa macam-macam, berupa jirim, jisim, jawhar, dan `aradh. Itu keadaan makhluk! Semua itu bukan Tuhan! Hakikat Muhammad itu tubuh orang Islam. Matilah dalam Islam. Kenalilah hakikat Muhammad agar dunia-akhirat kamu Islam. Muhammad itu tubuh yang selamat. Maka Islam itu maknanya selamat. TAFAKAUR SESAAT
TAFAKUR SESAAT LEBIH BAIK 70 TAHUN IBADAH Praktik Diam [Tafakur] itu menyatukan ingatan dan perasaan. Caranya: Pandang tubuh yang diam itu/tubuh maharuang/Zahiru Rabbi itu. Rasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [pusar]. Bukan merasakan diamnya tubuh kamu yang zahir, melainkan merasakan diamnya tubuh yang di dalam pusat [sama-tengah hati]. Turunkan perasaanmu di pusat dan pusat jangan kamu tarik-tarik ke dalam atau ke luar. Turunkan perasaan ke "pusat diam" di pusat kita. Bukan menahan napas, melainkan mendiamkan perasaan. Coba rasakanlah sendiri. Kalau perasaan sudah diam, bersih pikiran dan perasaan. Orang bodoh mau menenangkan pikiran dengan makan obat penenang. Mendiamkan saja perasaan, sudah bisa tenang. Untuk apa diubah-ubah dengan obat-obatan. Lakukan praktik diam ini.
TANPA HURUF TANPA SUARA
Sama tengah hati itu perhimpunan tubuh, hati, nyawa, rahasia. Semua itu berhimpun pada Ruh Qudus. Ini rahasia Yang Mahakuasa. Ini yang berkuasa pada diri manusia. Kalau kita tafakur dan semua berhimpun pada sama tengah hati, berkhidmatlah seluruh zahir-batin. Lenyap pada sama tengah hati. Di sini kita akan mendapat pelajaran. Yang berkata-kata itu wa fi sirri Ana. Pelajaran yang kita dapat ini tanpa huruf-tanpa suara. Kita dapat paham dengan sendirinya. Yang bisa memperoleh ini ahli hakikat dan makrifat.
TAUHID KASYAF
Tauhid itu mengesakan segala sesuatu kepada Allah Swt. Maka dalam tauhid, wajib kita paham dahulu tentang Zat-Sifat-Asma-Af'al Allah. Karena ilmu tauhid itu terdiri atas Tauhidul Zat, Tauhidul Sifat, Tauhidul Asma, dan Tauhidul Af'al. Apabila paham hal ini, akan berhasillah musyahadah kamu. Kalau berhasil jalan musyahadah kamu, akan ketemulah kamu pada dirimu sendiri kasyaf qalbi dan kasyaf syir.
TAUHID RASA
Semua manusia memakai pakaian. Coba Ibu-ibu lihat semua pakaian itu. Coba lihat, ada apa di dalam kain Ibu itu? Jangan tertawa dulu, Ibu-ibu. Yang saya tanya ada apa di dalam pakaian Ibu, bukan yang di balik pakaian Ibu-ibu. Tentulah dalam pakaian Ibu itu ada kain, benang, dan kapas. Kain ini dinamai bermacam-macam: baju, kemeja, celana, sarung, kerudung, jaket, selendang, dan lain-lain. Tetap yang dinamai bermacam-macam itu kain juga, di dalamnya tetap ada benang dan kapas. Dari semua itu, tentu kapaslah yang terdahulu. Kapas dipilin menjadi benang, benang ditenun menjadi kain. Dari kapas barulah benang, setelah benang zahirlah kain. Walaupun sudah menjadi kain, tetap di dalamnya benang dan kapas. Begitu juga diri kita yang kelihatan ini adalah jasmani. Di dalamnya ada ruhani, ada nurani, ada rabbani. Jangan kita lupa isi di dalam ini. Apapun yang kita kerjakan, dahululan yang di dalam, barulah ke luar. Jadi kita ini dari dalam ke luar; bukan dari luar ke dalam. Contoh: Kita melihat. Kalau kita dahulukan mata yang melihat, atau kita dahulukan merasa mata yang melihat, seperti ini dari luar ke dalam. Cobalah dari dalam dulu. Dari Allah [minallahi]; dengan Allah [billahi] Pandangan kita dari Allah. Yang dari Allah dengan siapa? Dan yang dari Allah itu pada diri kita di mana letaknya? Tentulah dengan Rahasia-Nya. Rahasia itu rasa. Rasa itu Rahasia. Dan Rahasia itu Zat. Zat itulah diri Rasulullah. Maka hubungkanlah rasa itu ke Rasulullah. Kalau rasa itu sudah birasuli, tentu rasa rasul saja yang ada; tentu rasa rasul saja yang berlaku. Kalau kita melihat mendahulukan main ke dalam, tidak ada keraguan lagi mengatakan birasuli yang memandang/melihat. Setiap birasuli, tentu lillahi. Setiap lillahi ta`ala, musti billahi ta`ala. Kalau tidak billahi ta`ala, itu kemauan kita atau kemauan makhluk. Kemauan itu nafsu. Setiap ingin itu nafsu. Kalau seseorang beribadah mengikuti nafsu, tidaklah dia beribadah. Nafsunya yang beribadah. Waktu kita takbir lalu membaca bacaan shalat, dapatlah merasakan siapa yang beribadah. Ketahui dahulu yang ada di dalam diri. Rasakan yang berkata-kata itu ada di sama-tengah hati. Yang di sama-tengah hati itulah Rasulullah; Rahasianya Tuhan; Zat Mutlak. Untuk apa kita mau kalah dengan orang yang tidak merasakan. Kita bisa melihat ini-itu. siapa yang merasakan kalau bukan yang di sama-tengah hati? Ibu-ibu tidak usah malu atau merasa rendah diri dengan orang yang hanya sebatas akal saja keyakinannya. Karena keyakinan kita dalam tauhid hakiki ini bukan lagi keyakinan aqliyah, melainkan keyakinan kita sudah dengan keyakinan rasa. Keyakinan kita bukan lagi dengan keyakinan "bil ilmi", melainkan dengan keyakinan "bi dzuk" : benar-benar dirasakan.
Secara bil ilmi, bintang, bulan, dan matahari bisa diukur. Akan tetapi dalam kenyataannya, adakah yang pernah tidur di bulan, menggenggam bintang-bintang, dan menepuk-tepuk matahari seperti menepuk kepala kucing? Ibu-ibu, meskipun tidak memakai bil ilmi, Ibu-ibu bisa merasakan betul-betul tidur di bulan, menggenggam bintang, dan menepuk matahari seperti menepuk kepala kucing. Contoh nyata: Ibu sudah merasakan gula itu manis, garam itu asin, kopi itu pahit. Kalau sudah merasakan rasa gula, garam, dan kopi, untuk apa lagi memikir-mikirkan manis, asin, dan pahit lagi? Tidak perlu kita memikir-mikirkan manis, asin, dan pahit lagi sebab sudah dirasakan. Sudah merasa, maka tahulah zat gula itu manis, zat garam itu asin, zat kopi itu pahit. Itulah makanya laa tafakaru fii zaatihi, 'jangan kau pikirkan Zat-Ku. Sudah tahu zat gula dan merasakan zat gula, untuk apa dipikir-pikir lagi zat itu? Bukankah sudah merasakan?! Kita sudah tahu, rasa itu Rahasia dan Rahasia itu Zat. Rasakan kita sudah di dalam Tubuh Kosong/Maharuang. Inilah yang dikatakan Zahiru Rabbi. Inilah Tubuh Allah yang ada di sama-tengah hati. Dari sama-tengah hati inilah timbulnya pergerakan pada jasad ini: melihat, mendengar, berbicara, bekerja, dan lain-lain. Rasakanlah mulai dari sini [sama-tengah hati]. Hubungkan rasa kita ke sama-tengah hati. Jadi tawadhu kita harus pada Diri Allah yang ini. Tawadhu selain Allah, syirik. Kita menyebut "Aku", hendaklah merasakan "Aku"-nya yang di sama-tengah hati. Yang di sama-tengah hati itu Diri Allah atau Diri wa fii anfusikum `afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]. Diri wa fii anfusikum `afalaa tubsirun ini biasa disebut Rahasia Diri Tuhan, itulah diri Rasulullah. Kita menyebut "Aku", kalau merasakan "Aku"-nya jasad atau nafsu, syirik. Ingat, nafsu ananiyah ini yang selalu menghijab kita dari Tuhan. Nafsu ananiyah ini nafsu ke-aku-an. Kita shalat. Shalat ini sunnah Rasulullah. Yang shalat itu Rasulullah, jasad kita ini melakukan sunnahnya saja. Di Quran disebutkan umat itu musti athiullah wa athiurasul, 'taat pada Allah dan Rasul-Nya'. Yang disebut umat itu banyak. Mata itu umat, mulut itu umat, tangan itu umat, kaki itu umat, seluruhnya itu umat. Setiap umat yang taat hanya mengikut pada Allah dan Rasulullah yang di sama-tengah hati. Itulah shalat. Yang shalat itu Rasulullah, kita ini melakukan sunnahnya saja. Setiap lirasuli, musti birasuli; setiap lillahi, musti billahi.
Dahulukan yang di dalam. Kalau dari luar ke dalam terus, akhirnya jadi keranjang sampah [duniawi] diri kita ini. Supaya tidak jadi keranjang sampah, hendaklah dari dalam ke luar. Jangan lupa dengan isi di dalam kain itu. Jangan lupa isi di dalam baju dan celana. Bukan isi dalam celana itu burung tekukur ya, Ibu-ibu. Kalau masih kita yang ingin takbir, ingin membaca bacaan shalat, ingat..keinginan itu nafsu, setiap ingin itu nafsu. Buang saja segala ingin-ingin itu. Ganti dengan rasa. Rasakan saja Rasulullah shalat. Tidak ada syiriknya dan tidak ada mustahilnya. Tidak ada syiriknya sebab yang mengajarkan umat supaya tidak syirik itu Rasulullah. Rasakan yang di sama-tengah hati itulah Rasulullah. Yang esa dengan Tuhan itu hanya Rasulullah. Yang perlu kita ketahui adalah Allah dan Rasul. Yang diakui pun Allah dan Rasul. Pergunakan iman dzukiyah ini, yakni iman rasa. Jangan jadi manusia yang bicara, "Allah. Allah," tapi dengan tidak merasakan Allah. Kalau merasakan Allah, mustahil tidak dipelihara Allah. Kalau dipelihara Allah, tentu tidak celaka. Banyak orang, banyak ulama, banyak kyai, banyak habib, banyak hazrat, banyak syarif-syarifat, banyak ustadz-ustadzah bicara "Allah", tapi tidak merasakan Allah. Untuk apa takut dan minder pada orang-orang yang hanya pandai bil ilmi sambil tidak bidzuk, tidak merasakan Allah. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لِّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ [٢٤:٦٢ Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Nur:62]
Artinya, kita tidak bisa bercerai dengan Rasulullah. Apapun yang kita kerjakan, musti kita mohon izin dulu ke Rasulullah, baru ke Tuhan. Mustahil bisa langsung ke presiden tanpa melalui ajudannya dulu. Kalau ada perlu dengan Tuhan, carilah pribadi yang dipercaya Tuhan. Ingat Ibu-ibu, jangan kita lupakan Rasulullah. Karena Rasulullah tidak pernah bohong. Kalau Rasulullah bohong, tentu bohong juga Allah. Karena Rasul itu menyampaikan apa yang disampaikan Allah kepadanya. Allah sampaikan kepada Rasulullah perintah shalat, ya kita shalatlah. Allah sampaikan kepada Rasulullah perintah takbir, ya kita bertakbirlah. Ibu-ibu sebelumnya belum tahu. Sekarang tahu. Siapa yang menyampaikan Ibu-ibu jadi tahu itu? Tentu orang yang dipercaya Tuhan. Coba banyangkan Ibu-ibu buat kue, tetapi hasilnya bantat. Tentu Ibu bisa merasakan kekurangannya apa. Kurang telur-kah? Kurang lama di-mixer-nyakah, dan lain-lain. Siapa yang merasakan kesalahan Ibu dalam membuat kue itu? Tentulah Rahasia Tuhan itu yang merasakan. Jangan lupa, musti pandai-pandai menghubungkan rasa "ke dalam" itu atau musti pandai-pandai menghubungkan rasa ke kapas itu. Umpama: Diri merasakan ada kelainan pada tubuh kita. Diamlah. Hubungi rasa itu ke Rasulullah. Nanti ada getaran pada kita berupa pemberitahuan atau lainnya. Dari getaran rasa inilah kita dapat tahu. Begitu juga kalau kita merasa ada kelainan atau sesuatu yang "lain" pada jasad kita. Cobalah hubungi dengan "TUHAN TUBUHKU, MAHASUCI NYAWAKU, YAA BUDDUHUN". Juga kalau ada getaran-getaran "lain" di badan [pada saat tafakur, misalnya], langsung saja hubungkan rasa ke sama-tengah hati dengan mengucapkan kalimah hakiki tadi. Itu untuk "pakaian pribadi" Ibu-ibu. Bukan untuk jadi dukun, melainkan untuk mawas diri. Baca lagi Q.S. Nur:62 tadi. "Kabulkan Muhammad akan apa-apa permintaan pertolongannya kepada kamu. Sampaikanlah Muhammad, doakanlah juga dia. Tunjukkanlah kemukminan itu kepada Allah, bukan kepada manusia. Jangan takut kalau sudah tahu ini. Ini semua untuk umat, bukan untuk ulama, bukan untuk habib, bukan untuk syarif, bukan untuk hazrat dan ayatullah, ini untuk umat.
TENTANG RASA
Rasa di dalam rasa. Yang di dalam rasa itulah yang merasa. Yang di dalam rasa itulah yang dikatakan “perasaannya perasaan”. Sedikit sekali orang yang mau mengetahu tentang rasa. Rasa itu sirr. Yang di dalam sirr itu Rahasia Tuhan yang disematkan pada ruh yang ditiupkan-Nya pada jasad Adam. Rasa-lah yang mengetahui manis, asin, pahit, kesat, dan lain-lain. Bukan lidah yang merasakan manis, asin, pahit atau kesat itu. Karena dihubungi oleh rasa (sirr) itulah maka jasad dapat merasa. Islam itu artinya selamat zahir-batin. Islam itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak yang utama, tentu ber-adab di hadirat Allah, bukan ber-adab di hadapan manusia. Akhlaqul karimah yang utama itu ber-adab di hadirat Allah, bukan ber-adab di hadapan manusia hanya agar tetap dikata orang saleh, orang sabar, orang zuhud, orang tawadhu, orang berakhlak. Maka dalam hubungannya dengan rasa, utamakanlah rasa ini terhubung terus dengan Allah. Bukan dengan akhlak! Islam itu artinya selamat zahir-batin. Apa yang diketahui oleh rasa, kebenarannya jangan dibelokkan oleh mulut. Dengan sirr kamu mengetahui letak kelalaian seorang saleh, jangan lalu kamu membenarkan pikiran dan pendapat orang itu hanya sekadar menjaga akhlak. Itu namanya kamu ber-adab di hadapan manusia, tetapi tidak ber-adab di hadirat Allah. Orang yang tidak sama hati dengan mulutnya itulah dikatakan munafik. Orang yang menerima kebenaran di hatinya, tetapi jasadnya menampik karena gengsi, itulah dikatakan fasik. Islam itu artinya selamat zahir-batin. Kamu bersedekah, di mulut berkata, “Terimalah”, tetapi di hati ada perasaan “setengah hati”. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Kamu tahu jasad bergerak mencari nafkah untuk menafkahi itu ibadah, tetapi selama mencari nafkah pikir dan rasamu terarah pada uang dan keuntungan. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Dalam beribadah, nafsu itu keinginannya terarah pada surga, pahala, dan fadhilah-fadhilah amal. Lupa dengan Pemilik surga, lupa dengan Pemberi pahala dan fadhilah. Dapatkah dikatakan selamat zahir-batin? Islam itu artinya selamat zahir-batin. Tentulah rasa musti berhubungan terus dengan Allah. Dengan begitu dapatlah kamu merasakan ketuhanan Allah. Kalau merasa terus dengan Allah, mana ada lagi keinginan dengan surga. Maka orang-orang tauhid dalam beribadah tidak ada dengan menginginkan surga. Karena keinginan itu nafsu. Kalau manusia merasa terus dengan Allah. Itulah dikatakan Allah dengan Allah. Oleh sebab itu, rasa musti berhubungan terus dengan Allah. Zahir-batin berhubungan terus dengan Allah, selamatlah. Maka Islam itu selamat. Jika kamu mengalami kesusahan, kekalkan saja rasa itu pada Allah. Nanti ada petunjuk dan pertolongan dari Allah. InsyaAllah. Zahir-batin berhubungan terus dengan Allah, selamatlah. Maka Islam itu selamat. Sedikit orang yang mengetahui bahwa ruh-lah yang mengetahui Tuhan. Sedikit orang yang mengetahui bahwa Allah hubungkan ruh itu dengan jasad. Sebab itulah banyak yang berpikir dan merasa bahwa yang bersifat mati (jasad) ini yang hidup. Lupa bahwa yang bersifat hidup (ruh) itulah yang hidup. Sadarlah hati pada Allah. Siapa yang mengatur berdiri, ruku, dan sujudmu itu? Tentulah Allah. Kalau kita merasa ada kemampuan diri melakukan berdiri, ruku, dan sujud, itulah dikatakan ujub. Rasa ujub ini menghancurkan pahala 80.000 tahun ibadah. Ingat kisah makhluk yang pernah terhormat bernama Azazil. Maka pengetahuan tauhid ini tidak bisa disepelekan. Inilah pertahanan dunia-akhirat. Yanzuru `ala qulubikum, Allah memandang hati; karena hati itulah yang hubungannya ke alam raib. Bukan ke alam gaib [alam jin, setan, Iblis]. Untuk dapat merasakan ketuhanan Allah. Hendaklah rasa berhubungan terus dengan Allah. Sampai baqa billah. Inilah caranya merasakan ketuhanan Allah. Rasa. Di dalam rasa ada rasa. Yang di dalam rasa itulah yang merasa. Kalau sudah yang di dalam rasa itu yang merasa: Tuhan saja ADA.
TIAP KEINGINAN ADALAH NAFSU
"Semua manusia binasa, kecuali orang berilmu, orang berilmu pun binasa, jika tidak mengamalkan ilmunya, orang yang mengamalkan ilmu pun binasa, jika tidak disertai ikhlas, orang ikhlas pun binasa, jika masih merasa ke-aku-an diri : masih ada maksiat batin. Setiap keinginan adalah nafsu. Kata nafsu dalam bahasa Indonesia diserap dari kata bahasa Arab an-nafs yang bermakna "diri" atau "jiwa". Dalam perkembangan pragmatiknya, kata nafsu terkait erat dengan konsep ego atau "ke-aku-an". Yang dikatakan nafsu itu adalah keinginan. Menginginkan surga itu nafsu. Maukah kamu salat ber-imam pada orang yang beribadah dengan nafsu? Kita dipersilakan menjadi imam salat berjamaah lalu merasa dalam hati bahwa diri ini memang layak mengimami jemaah, merasa ada diri itu najis batin. Maukah kamu ber-imam pada orang yang batinnya bernajis? Dalam ibadah ada rukun fi'li [gerakan], qauli [bacaan], dan qalbi [pandangan hati]. Tentulah berlaku juga rasa fi'li, rasa qauli, dan rasa qalbi. Ada orang membacakan ayat terlalu dialun-alun, dimerdu-merdu saja sudah dapat dirasa dengan rasa qalbi bahwa orang ini riya. Melihat gerak-gerik fi'linya juga sudah dapat dirasa dengan rasa qalbi bahwa orang tersebut ada ujubnya. Itu sebabnya ada anjuran Nabi Muhammad Rasulullah Saw. agar imam salat berjamaah agar tidak membawakan surah yang panjang-panjang. Itu sebabnya ada juga orang-orang tasawuf yang maqam sirr-nya sudah tinggi bila salat bermakmum pada imam yang berkualitas riya, mereka akan membatalkan salatnya dan mengulangi salatnya secara munfarid*). ekarang saja langsung terasa... begitu terbaca bagian *) ini oleh "mereka", serta-merta mereka sibuk membuka-buka file kumpulan hadis yang biasa dicopas. Jangan kaget kalau yang "mereka" cari itu hadis di bawah ini untuk dibuat status sindiran: "Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api." (HR Bukhari dan Muslim) Tanggapan: Apakah sama berimamkan Rasulullah Saw. dan atau berimamkan empat sahabat utama, atau berimamkan para tabi'in, tabiut tabi'in yang dikenal luas sebagai kaum salafus saleh dengan berimamkan ulama-ulama mujassimah yang mempersonifikasi Allah sebagai berwajah, bertangan dan bersemayam di Arsy, yang mengaku-aku sebagai kaum salaf padahal pengikut setia si Wahab? Apakah sama berimamkan Rasulullah Saw. dan atau berimamkan empat sahabat utama, atau berimamkan para tabi'in, tabiut tabi'in yang dikenal luas sebagai kaum salafus saleh dengan berimamkan ulama-ulama kebatinan yang memelihara sekelompok jin agar dipandang orang sebagai memiliki karamah? "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" [Q.S. ar-Ra'd:16] Sebagaimana melakukan penyembahan itu wajib dengan disertai pengenalan pada Allah; demikian juga sebaiknya kita mengenal dengan baik orang-orang di lingkungan kita yang biasa menjadi imam shalat berjamaah di masjid. Tulisan ini tidak menetapkan bahwa setiap imam masjid itu memendam najis batin di dalam dirinya juga tidak menyeru umat agar jangan salat berjamaah di masjid 'kan?! Tidak semua orang tertipu dengan penampilan zahir saja. Ada dapat yang memandang dengan zahir sekaligus dengan rasa. Dari sinilah dapat diketahui adanya riya pada seseorang yang diamati. Mustahil rasa dari Rahasia [sirr] itu bohong. Perkataan sebagian awliya Allah, من لم يذوق لم يعرف "man lam yadzuuk lam ya'rif" Siapa tidak pernah merasa, tidak akan pernah tahu. Akan tetapi, sedikit orang yang mau mengetahui tentang rasa. Bukankah sirr itu rasa. Rasa itu Rahasia. Ketahuilah masalah rasa ini. Rasa ini ada di hati. “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan tidak juga kepada rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian.” (H.R. Muslim). Mengapa Allah memandang hati? Karena hatilah yang berhubungan langsung ke alam raib ["alam" Tuhan], bukan alam gaib. Kita tidak tahiu "alam" Tuhan ini, tetapi hati merasakan. Sebab, siapa yang kenal dengan Allah? Ruh. siapa yang pernah mendengar Kalam Allah? Ruh. siapa yang pernah menyaksikan Allah? Ruh. Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul [Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi". [Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah tentang [keesaan]ini (Q.S. al-A'raaf:172) Jadi, sudah ada sama`, bashar, kalam, [dan seluruh sifat 20] itu pada ruh sejak di alam arwah. Orang tauhid menerima bicara orang syariat bahwa mereka beramal dengan lillahi ta'ala; tetapi mengapa orang syariat tidak mau menerima bicara orang tauhid tentang ibadah billahi ta'ala? Bukankah laa hawla wa laa quwwata illa billah? Cobalah sekali-sekali santapan makrifat ini. "...agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah tentang ini."
TUBUH DIAM
Tubuh Diam itu Tubuh asli sebelum ada sesuatu. Di dalam Tubuh inilah segala sesuatu mengambil tempat dan dari Tubuh Diam inilah segala suatu di-ada-kan. Tubuh Diam itulah Tubuh Tuhan [Zahiru Rabbi]. Cobalah dirasakan, bertubuh diamlah kita. Kerahasiaan-kerahasiaan Tuhan itu ada di dalam Tubuh Diam. Cara mendapatkannya dengan mendiamkan perasaanmu. Tubuh Diam itu Tubuh Ahadiyah; Tubuh Husnul Khatimah. Inilah lautan ahadiyah. Diam itu Tubuh-Nya [Af`al-Nya], yang Kosong itu Sifat-Nya, sedangkan "Allah" itu Asma-Nya. Asma bagi Zat-Nya yang meliputi sekalian alam ini. Diri kita sudah esa dengan Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya. Pandang kebenaran Tuhan itu [Q.S. Al-An`am:104]. Pergunakan tauhid dzukiyah. Tauhid dzukiyah itu tauhid rasa. Pikiran atau akal tidak dapat merasa. Hanya rasa yang dapat merasa. Di dalam batiniyah, Rasa yang dapat Merasa itulah Allah. Tubuh Diam itu bersifat Kosong. Adapun Kosong itu Sifat, sedangkan "Allah" itu Nama bagi Zat yang Meliputi. Jadi Yang Diam-nya itu Tubuh Tuhan. Kita di dalam Tubuh Diam dan bertubuhkan Diam. Pandang Tubuh Diam dengan rasa, sampai terasa benar bertubuhkan Diam. Hadapi apa saja dengan bertubuh Diam atau dengan bertubuh Tuhan: selamat kamu.
-Arifbillah-
WASIAT MA'RIFAT MURSYID KEPADA MURID
WASIAT MAKRIFAT MURSYID KEPADA MURID Orang bodoh adalah orang yang tidak tahu keber-ada-annya ada di atas syariat. Kita bukan berada di alam jin, setan, Iblis. Kita berada di alam fana akan ke alam barzakh dan alam akhirat. Jangan sampai jemaah-jemaahku tidak bersyariat karena manusia telah diber-ada-kan di atas peraturan agama. Taatilah urusan agama itu. Itu aturan Tuhan. Jangan kamu ikuti hawa nafsu meninggalkan syariat. Itu sama dengan kamu mengikuti setan-Iblis.
ZAT KETUHANAN
DZAT KETUHANAN Tuhan itu tidak Bergerak dan tidak Diam: Diam sediam-diamnya. Tuhan tidak Bergerak kemudian Diam; tidak pula Diam kemudian Bergerak. Tuhan Diam sediam-diamnya. Yang Diam sediam-diamnya itulah Tuhan. Zat-lah yang merasakan ketuhanan. Bukan kita yang mau merasa ketuhanan, melainkan Zat merasakan ketuhanan. Maka hati kita musti plong: tidak ada keinginan lagi. Bersih dari ananiyah.
-Arifbillah- |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0 Response to "CARA MENGENAL TUHAN MENGENAL DIRI juz2"
Post a Comment