La tataharraku zaratin illa bi iznillah "Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Alah." Musti ada proses, pembersihan dengan Rasul [dengan selawat]. Inilah untuk pembersihan hati. Kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar. Penting merasakan ketuhanan itu. Bukankah Tuhan Mengetahui rasa asin, manis, tawar, dan lain-lain? Kita tahu asin, manis, tawar, dll., tapi merasa ketuhanan tidak ada. Kita melihat, tapi rasa ketuhanan dapat tidak?! Akhirnya kufur nikmat tidak itu?! Penting merasa ketuhanan itu. Bukan kita tahu asin, manis saja, merasakan ketuhanan Allah itu penting. Itulah pembinaan Tuhan. Tauhid dzukiyah [iman rasa] itulah pembinaan Tuhan karena kita sudah diberi tahu rasa asin, manis, kecut, tawar, pahit, dsb. Hendaklah penuh ridha karena hati merasakan banyak kufur; banyak melakukan kufur nikmat. Yang namanya ridha tidak bisa didapat dengan ilmu. Ridha didapat dengan hidayah Allah, bukan dapat diusahakan. Kalau ridha, hati akan memandang Allah. Mengapa orang melakukan shalat? Karena merasa butuh dengan Tuhan. Sifat itu mawjud, berdiri pada Zat Allah. Islam bukan agama syirik. Islam agama tauhid. Agama tauhid selalu menauhidkan Tuhan. Sabda Nabi Saw., "Kalau kamu mau dicintai Allah, ikuti aku." [Q.S. Al-Imran:31] Orang lihat, kita punya kelebihan, tapi kita tidak merasa punya kelebihan. Bersyukur kita ada dosa. Kita ini memang keturunan berdosa, tidak bisa ditolak. Sesungguhnya Allah cinta pada orang yang menyucikan dirinya zahir-batin [Q.S. Al-Baqarah:222]. Bukan Allah cinta pada orang-orang beramal. Bersuci [Thaharah] itu zahiriyah dan batiniyah. Jangan zahir saja diberi parfum mahal-mahal. Batin juga musti bersih dan wangi. Ujub itu merasa diri ada. Merasa ada diri. Orang banyak yang tidak tahu dalam ibadahnya lebih sering didorong oleh keinginan. Keinginan itu nafsu. Ada keinginan bertakbir, itu nafsu. Ada keinginan ruku, sujud sampai salam juga nafsu. Jadi shalatnya mengikuti perintah nafsu semua. Mau makan-minum pun ikutkan keinginan. Berjalan pun didorong oleh keinginan. Semuanya mengikuti perintah nafsu. Kita tahu Tuhan itu Qidam atau Sedia. Musti dirasakan Tuhan itu. Bicaralah dahulu dengan yang di dalam batiniyah. "Wafii anfusikum `afalaa tubsirun [Q.S. Adz-Dzariyaat:21]," Aku sudah Sedia Ada dalam kamu. Mengapa kamu tidak mau mengenal Aku? Mengapa kamu tidak mau menghubungi Aku? Dalam ibadah, musti dirasakan Tuhan itu Sedia Ada-Nya. Bicaralah dahulu di dalam dengan Tuhan. Nabi Saw. saja diam-diam dahulu, baru lalu berkata pada Abu Bakar r.a., "Wa laa takhafu wa laa tahzan. Innallaaha ma ana." Hendaklah kembali kepada Allah. Tidak bergerak satu zarah pun tanpa izin Allah. Penting sekali berhubungan rasa dengan Allah. Baru berbuatlah karena Allah. Jangan berbuat karena dorongan keinginan atau nafsu. Ingat, kedudukan hakikat itu di dalam, bukan di luar. Kalau shalat, merasa dengan diri sendiri, berarti tidak mentauhidkan Allah. Yang berdiri pada kita ini Sifat [Allah] dan kita berdiri pada Zat [Allah] atau pada Rasa. Rasa itu Zat. Zat-lah yang merasa ketuhanan itu. Rasa tidak dapat diungkapkan: itulah Zat. Perjuangkanlah rasa ketuhanan itu. Karena Zat-lah yang merasakan ketuhanan Allah. Kita tahu rumah teman kita. Begitu sampai di rumahnya, panggil-panggil saja, dia pasti keluar menghampiri. Begitu juga, kita sudah tahu maqam Rasulullah, tahu jugalah maqam Allah. Panggil-panggilah Rasulullah itu dengan selawat. Beliau akan datang lalu berkata, "Maa haajatuka?" Apa hajat kamu? Lalu sebutlah apa hajat kamu itu sebab orang yang datang ini kepercayaan Tuhan, kekasih Tuhan yang siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Mustahil Rasul tidak melayani umat yang memanggilnya. Jangan kamu memanggil beliau seperti memanggil kawan kamu [Q.S. . Ber-adablah. Dengan adab yang baik, mustahil tidak dikabulkan karena kita sudah berhubungan dengan ajudan Allah. Mustahil permohonan tidak diperhatikan Allah. Inilah cara-cara orang arif billah dalam beramal. Mereka mempergunakan iman rasa [iman dzuk; tauhid dzukiyah], bukan lagi sekadar dengan iman ilmi. Berikut ini jalan kita mempraktikan tauhid dzukiyah. Jangan teori saja, musti ada praktik juga baru dapat pembuktian nyatanya. Jangan ilmu saja, musti ada amal juga baru dapat muanaiyah-nya. Pandang zahir, di luar jasad kita semua itu makhluk. Jangan pandang ke luar, makhluk semua. Pandang ke dalam. Jangan dari luar dibawa ke dalam. Dari dalamlah bawa ke luar. Di luar itu makhluk, di dalam itu Allah [Q.S. Al-Hijr:29 ]. Kalau ada rasa, itu wahidiyat. Kalau tidak ada rasa, itu ahadiyat. Pandanglah ke ahadiyat. Laa qadirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Kuasa melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Qudrat Allah yang berlaku. Allah yang Berqudrat. Siapa merasakan dirinya yang kuasa, syirik. Laa muriidun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkehendak melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan kehendak Allah semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik. Laa `aliimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mengetahui melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan Allah Mengetahui semua. Siapa merasakan dirinya yang berkehendak, syirik. Laa hayyun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Hidup melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Hidup. Siapa merasakan dirinya yang hidup, syirik. Laa sami'un illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Mendengar melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Mendengar. Siapa merasakan dirinya yang mendengar, syirik. Laa bashirun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Melihat melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Melihat. Siapa merasakan dirinya yang melihat, syirik. Laa mutakalimun illallah. Ini perkataan hakikat di dalam batiniyah. Tiada yang Berkalam melainkan Allah. Pandangan zahiriyah, merasakan hanya Allah yang Berkata-kata. Siapa merasakan dirinya yang berkata-kata, syirik. Ingat, agama itu mentauhidkan, bukan men-syirikkan [Q.S. Az-Zumar:3]. Maka segala sesuatu itu bicaralah dulu di dalam dengan Allah. Karena keyakinan lahiriyah dengan keyakinan batiniyah itu tidak sama. Nabi bersabda, "Yakinkan Allah memandang kamu!"(*) Keyakinan orang syariat, kalau sudah mata-kepala dia sndiri yang memandang Allah, baru dia yakin dia sudah memandang Allah. Yang begini ini tidak ada beda dengan yahudi pengikut Musa a.s. yang kafir. Sedangkan keyakinan batiniyah yang benar itu: perkataan "aku" itu bukan kembali pada dirinya, melainkan kembali pada "Aku"-nya Tuhan.
TAJALI
"Pelajari ilmu zikir sebelum beramal zikir." Hai santri-santri ahli zikir, mintalah kepada gurumu ilmu zikir yang sedetik pun tidak lalai dengan Allah. Karena nanti kita akan mengalami umur yang tinggal sedetik lagi. "Bacalah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan." Bacalah saja. Jika akal jasad belum paham, biarkan akal ruhanimu yang membaca. Biarkan Allah yang memahamkanmu, bukan atas semangat dan kecerdasan diri. Sebab setiap ingin adalah nafsu. Tajalli Turunkan. Jangan dinaikkan. Tempat beradanya di tujuh cahaya. Keputusannya: suara. Suara ﻫ tidak bisa ditafsirkan. Jadilah alam dan isi-isinya. ﻫ kalau dimatikan, segala rahasia Allah ada gerakannya dan ada suaranya. Kita berzikir, kita mendengar suara kita berzikir. Tetapi, Yang Punya Zikir berzikir sudah pernah kita dengar belum? Yang Punya Zikirlah yang berzikir (atau Yang Punya Kata-lah yang Berkata). Kalau kita sudah mendengar Yang Punya Zikir berzikir, dapatlah kita karam dalam zikir. Ingatlah, zikir itu beramal. Beramal harus dengan ilmu. Bagaimana kita berzikir kalau tidak memiliki ilmu zikir. Beramal tanpa ilmu: kosong; tidak ada artinya. Berilmu saja tanpa beramal: sesat. Kosong itu lautan qadim. Kalau mau tau, (lautan qadim itu) dari Wujud sampai Wahdaniyah. Di sinilah kita tahu artinya udara. Sifat inilah bagi zat yang Mahasuci. Yang kosong itu sifat Qadim, bukan Nur. Lebih daripada Nur. Itulah zat-sifat. Inilah Tubuhnya Allah Ta'ala. Cari Rasulullah. Kalau dapat beliau, dapatlah. Kalau tahu sifat ini, bukan manusia biasa lagi. Tapi, sudah bertubuh mahasuci. Tubuh mahasuci itu nyawa siapa? Nyawa zat mutlak. Zat-sifat (asam) itu nyawa Muhammad, Adam, dan sekalian alam. Kalau qadim, nur saja. Nur itu nyawa Muhammad. Nyawa Muhammad itu lebih daripada qadim. Bersatu Adam dan Muhammad, tidaklah hancur Adam. Yang menyatakannya, itulah ﻫ. Hakikat sedikit pun tidak ada lagi dan nur nyawanya. Suara itu nyawanya. Suara itu yang bersambung kata dengan Tuhan. Muhammad bersatu dengan Adam, maka padatlah tubuh lebih keras daripada batu. Hidup seperti padat batu, kekal. (Lebih kekal) daripada tanam-tanaman. Muhammad tidak akan mati karena nyawa semata-mata. Adapun ﻫ itu nyawanya nyawa. Inilah perintah Allah kalau kamu mau hidup selamanya. (Ketika nanti) mati, bangun dengan jasmani dan ruhani. Itulah sebabnya ada tafakur. Di dalam, zat asam membungkus. Di luar, zat mutlak menyelimuti. Kloplah. Paslah sudah. Nyata terang-terangan. Zikir ﻫ ini tidak diucapkan dengan huruf, tidak juga dengan suara. Hanya dengan rasa. Zikir dengan huruf dengan suara, (itu) belum (bisa dikata) kelu. Zikir dengan rasa: kelu. Inilah zikir rabbani. Zikir ﻫ inilah kontak pribadi kita dengan Tuhan. Apabila ﻫ ini sudah berjalan (dengan) sendiri(-nya), akhirat pun kelihatan. Inilah inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ingat, penghabisan suara (itu) dengan perasaan. Bagaimana mempergunakan zikir dengan rasa itu? Bukan (dengan) dirasa-rasa. Tuhan tidak ada rasa. Itulah kalla lisanuhu. Kata Sayyidina Umar r.a., "Satu detik lalai, maka aku murtad." Pelajarilah zikir yang tidak ada lalai sedetik ini. Yang sedetik inilah yang ditakuti ulama-ulama besar. Ingat perkataan Sayyidina Umar r.a. tadi. Apa mau mengakhiri hidup dalam keadaan murtad? Orang yang khusyuk dan karam dalam zikir itu adalah orang yang mendengar Yang Punya Zikir berzikir. Kita ini hanya menzikirkan Yang Punya Zikir. Bukan kita berzikir. Yang Punya Zikir berzikir. Siapa yang berzikir? Zat(-lah) yang berzikir. Suara siapa itu? Tuhan. Rukun Mi'raj Ash-shalaatu mi'rajul mu'min. Takbir itu mi'raj. Sebelum mi'raj (takbir), ihram (suci) dulu. Setelah ihram, mi'raj-lah (takbir). Selesai takbir (pada akhir "Akbar") dinamakan tafaddal (terganti). Setelah terganti, bermunajatlah.
Waktu membaca surat (dan bacaan-bacaan salat), itu dinamakan munajat. Pantaslah Nabi Muhammad Saw. bersabda di penghujung hayat beliau: "Ummati, shalli..shalli..shalli..." Karena orang yang salat itu zahiru Rabbi.
Yang tafaddal itulah tubuh zahiru Rabbi atau Rahasia Tuhan. Satu dengan jasad (atau esa). Maka orang yang (dalam) salat itu mengaku dirinya Tuhan (maksudnya: mengakui ke-Diri-an Tuhan dan tidak merasa ada diri lagi). Kalau tidak salat, mau mengaku diri siapa?? Yang tidak salat bisa-bisa mengaku diri setan. Inilah golongan sesat. Golongan laknatullah.
Orang yang tidak mau salat itu dilaknat Allah dan para malaikat-Nya pun melaknat pula. Maka salat itu adalah perintah Tuhan untuk rasul dan umatnya. Rasulullah saja orang berilmu dan kenal dengan Tuhan masih mau beramal. Beramal-lah yang membuat orang berilmu menjadi lebih sempurna ilmunya. Berilmu, tapi tidak beramal: sesatlah. Jadi, tidak bisa mengatakan yang berilmu itu tidak (perlu) salat. Orang yang ikhlas itu beribadah tidak merasa capek, tidak merasa letih, apalagi jemu. Karena ibadahnya sudah lillahi ta'ala. Kalau masih merasa-rasa segala macam, tidak ikhlas. Karena ibadahnya li nafs, bukan lillahi ta'ala. Inilah ibadah yang dipukulkan pada orang yang beribadah (seperti) itu.
Cara Hati Berhubungan Dengan Tuhan وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. [Q.S. Yunus:100] Diberi Allah dua bola mata, tugasnya satu: untuk melihat. Diberi Allah dua daun telinga , tugasnya satu: untuk mendengar. Diberi Allah satu hati, tugasnya satu. Tugas hati untuk apa? Untuk berkekalan pada Allah. Mengapa ada orang waktu mau mati hatinya bertugas pada anak-istri, harta, kebun, dan lainnya? Mengapa ada orang waktu mati hati bertugas pada yang bukan Tuhan? Susahlah mati orang itu karena asyik dengan makhluk saja. Jangan makhluk itu dijadikan berhala di dalam hati. Jangan dibiasakan hati asyik dengan hal-hal duniawi. Asyikkanlah hati itu kepada Allah. Untuk membiasakan hati kekal dengan Allah, gunakanlah tafakur hakiki. Cara praktiknya: Rasakanlah dengan rasa betapa Maharuang itu diam dan kita merasakan di dalam Tubuh Maharuang. Rasakan kita di dalam Tubuh Yang Diam itu. Maharuang atau Tubuh Yang Diam itu adalah Tubuh Tuhan. Inilah yang disebut Zahiru Rabbi wal bathinu abdi. Kita di dalam-Nya. Kita inilah wal bathinu abdi. Kita inilah di dalam Zahiru Rabbi. Kita bertubuh Kosong Maharuang. Pakailah perasaan. Bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam shalat, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam keseharian, bawa perasaan tafakur hakiki ini di dalam tidur. Pakailah tafakur hakiki ini. Kalau kita shalat di Tubuh Maharuang: ADA TUHAN. Bukan dengan dicari-cari, dipikir-pikir, hanya diyakini saja: ADA TUHAN. Perasaan kita hendaklah meyakinkan adanya Tuhan itu. Apabila seseorang dalam shalat dapat merasakan bertubuh Tuhan, nikmatlah senikmat-nikmatnya shalat itu. Jangan mau cari khusyuk tawadhu saja, tetapi tidak dapat merasakan nikmat shalat. Lebih baik kita mempelajari cara untuk mendapatkan nikmat shalat. Karena beribadah shalat itu nikmat. Carilah jalan praktik untuk mendapatkan nikmat shalat itu. Carilah jalan praktik untuk dapat merasakan bertubuhkan Tuhan di dalam shalat. Hati-hati dengan ulama dhal madhal; ulama yang sesat-menyesatkan. Yaitu ulama yang hanya pandai menyebut "Allah..Allah" saja, tetapi tidak merasakan Allah. Itulah ucapan palsu. Yaitu ulama yang berkata "Ibadah itu nikmat", tetapi tidak pernah merasakan nikmat ibadah. [Bagaimana bisa menerangkan umat cara praktik meraih nikmat itu?]. Yaitu ulama yang pandai menjelaskan jenis-jenis nafsu, tetapi tidak pernah sampai menerangkan tentang bahaya laten nafsu Firaun [nafsu ananiyah]. Para alim sufi, ke-aku-an mereka itu bukan menyebut "aku", melainkan merasakan "Aku"-nya Tuhan. Nafsu ananiyah itulah yang menghijab kita dengan Tuhan. Tawadhu itu pada Allah saja. Yang selain Allah itu makhluk. Perlu sadar. Sadar itu iman. Kalau kita lihat Af`al-Nya, terasa esanya kita dengan Allah. Yang mana Af'al-Nya itu? Yang Diam. Sementara Sifat-Nya itu Yang Kosong; Asma-Nya itu Allah; Zat-Nya yang Meliputi alam Diri-Nya. Kita sudah Mahaesa dengan Zat-Sifat-Asma-Af`al-Nya. Pergunakan tauhid Rasa. Sebab pikiran/akal tidak bisa merasa. Hanya Rasa yang dapat merasa. Rasa, di dalam rasa ada rasa. Rasa itulah Rahasia. Rahasia yang bisa merasakan Maharuang itulah Tubuh hakiki kita. Praktikkan tauhid dzukiyah agar kita dapat merasakan esanya Tuhan dengan hamba; hamba dengan Tuhan.
Tauhid Rasa Semua manusia memakai pakaian. Coba Anda lihat semua pakaian itu. Coba lihat, ada apa di dalam kain anda itu? Jangan tertawa dulu, Anda. Yang saya tanya ada apa di dalam pakaian anda, bukan yang di balik pakaian Anda. Tentulah dalam pakaian anda itu ada kain, benang, dan kapas. Kain ini dinamai bermacam-macam: baju, kemeja, celana, sarung, kerudung, jaket, selendang, dan lain-lain. Tetap yang dinamai bermacam-macam itu kain juga, di dalamnya tetap ada benang dan kapas. Dari semua itu, tentu kapaslah yang terdahulu. Kapas dipilin menjadi benang, benang ditenun menjadi kain. Dari kapas barulah benang, setelah benang zahirlah kain. Walaupun sudah menjadi kain, tetap di dalamnya benang dan kapas. Begitu juga diri kita yang kelihatan ini adalah jasmani. Di dalamnya ada ruhani, ada nurani, ada rabbani. Jangan kita lupa isi di dalam ini. Apapun yang kita kerjakan, dahululan yang di dalam, barulah ke luar. Jadi kita ini dari dalam ke luar; bukan dari luar ke dalam. Contoh: Kita melihat. Kalau kita dahulukan mata yang melihat, atau kita dahulukan merasa mata yang melihat, seperti ini dari luar ke dalam. Cobalah dari dalam dulu. Dari Allah [minallahi]; dengan Allah [billahi] Pandangan kita dari Allah. Yang dari Allah dengan siapa? Dan yang dari Allah itu pada diri kita di mana letaknya? Tentulah dengan Rahasia-Nya. Rahasia itu rasa. Rasa itu Rahasia. Dan Rahasia itu Zat. Zat itulah diri Rasulullah. Maka hubungkanlah rasa itu ke Rasulullah. Kalau rasa itu sudah birasuli, tentu rasa rasul saja yang ada; tentu rasa rasul saja yang berlaku. Kalau kita melihat mendahulukan main ke dalam, tidak ada keraguan lagi mengatakan birasuliyang memandang/melihat. Setiap birasuli, tentu lillahi. Setiap lillahi ta`ala, musti billahi ta`ala.Kalau tidak billahi ta`ala, itu kemauan kita atau kemauan makhluk. Kemauan itu nafsu. Setiap ingin itu nafsu. Kalau seseorang beribadah mengikuti nafsu, tidaklah dia beribadah. Nafsunya yang beribadah. Waktu kita takbir lalu membaca bacaan shalat, dapatlah merasakan siapa yang beribadah. Ketahui dahulu yang ada di dalam diri. Rasakan yang berkata-kata itu ada di sama-tengah hati. Yang di sama-tengah hati itulah Rasulullah; Rahasianya Tuhan; Zat Mutlak. Untuk apa kita mau kalah dengan orang yang tidak merasakan. Kita bisa melihat ini-itu. siapa yang merasakan kalau bukan yang di sama-tengah hati? Anda tidak usah malu atau merasa rendah diri dengan orang yang hanya sebatas akal saja keyakinannya. Karena keyakinan kita dalam tauhid hakiki ini bukan lagi keyakinan aqliyah, melainkan keyakinan kita sudah dengan keyakinan rasa. Keyakinan kita bukan lagi dengan keyakinan "bil ilmi", melainkan dengan keyakinan "bi zauq" : benar-benar dirasakan. Secara bil ilmi, bintang, bulan, dan matahari bisa diukur. Akan tetapi dalam kenyataannya, adakah yang pernah tidur di bulan, menggenggam bintang-bintang, dan menepuk-tepuk matahari seperti menepuk kepala kucing? Anda, meskipun tidak memakai bil ilmi, Anda bisa merasakan betul-betul tidur di bulan, menggenggam bintang, dan menepuk matahari seperti menepuk kepala kucing. Contoh nyata: anda sudah merasakan gula itu manis, garam itu asin, kopi itu pahit. Kalau sudah merasakan rasa gula, garam, dan kopi, untuk apa lagi memikir-mikirkan manis, asin, dan pahit lagi? Tidak perlu kita memikir-mikirkan manis, asin, dan pahit lagi sebab sudah dirasakan. Sudah merasa, maka tahulah zat gula itu manis, zat garam itu asin, zat kopi itu pahit. Itulah makanya laa tafakaru fii zaatihi, 'jangan kau pikirkan Zat-Ku. Sudah tahu zat gula dan merasakan zat gula, untuk apa dipikir-pikir lagi zat itu? Bukankah sudah merasakan?! Kita sudah tahu, rasa itu Rahasia dan Rahasia itu Zat. Rasakan kita sudah di dalam Tubuh Kosong/Maharuang. Inilah yang dikatakan Zahiru Rabbi. Inilah Tubuh Allah yang ada di sama-tengah hati. Dari sama-tengah hati inilah timbulnya pergerakan pada jasad ini: melihat, mendengar, berbicara, bekerja, dan lain-lain. Rasakanlah mulai dari sini [sama-tengah hati]. Hubungkan rasa kita ke sama-tengah hati. Jadi tawadhu kita harus pada Diri Allah yang ini. Tawadhu selain Allah, syirik. Kita menyebut "Aku", hendaklah merasakan "Aku"-nya yang di sama-tengah hati. Yang di sama-tengah hati itu Diri Allah atau Diri wa fii anfusikum `afalaa tubsirun [Q.S. Az-Zariyaat:21]. Diri wa fii anfusikum `afalaa tubsirun ini biasa disebut Rahasia Diri Tuhan, itulah diri Rasulullah. Kita menyebut "Aku", kalau merasakan "Aku"-nya jasad atau nafsu, syirik. Ingat, nafsu ananiyah ini yang selalu menghijab kita dari Tuhan. Nafsu ananiyah ini nafsu ke-aku-an. Kita shalat. Shalat ini sunnah Rasulullah. Yang shalat itu Rasulullah, jasad kita ini melakukan sunnahnya saja. Di Quran disebutkan umat itu musti athiullah wa athiurasul, 'taat pada Allah dan Rasul-Nya'. Yang disebut umat itu banyak. Mata itu umat, mulut itu umat, tangan itu umat, kaki itu umat, seluruhnya itu umat. Setiap umat yang taat hanya mengikut pada Allah dan Rasulullah yang di sama-tengah hati. Itulah shalat. Yang shalat itu Rasulullah, kita ini melakukan sunnahnya saja. Setiap lirasuli, musti birasuli; setiap lillahi, musti billahi. Dahulukan yang di dalam. Kalau dari luar ke dalam terus, akhirnya jadi keranjang sampah [duniawi] diri kita ini. Supaya tidak jadi keranjang sampah, hendaklah dari dalam ke luar. Jangan lupa dengan isi di dalam kain itu. Jangan lupa isi di dalam baju dan celana. Bukan isi dalam celana itu burung tekukur ya, Anda. Kalau masih kita yang ingin takbir, ingin membaca bacaan shalat, ingat..keinginan itu nafsu, setiap ingin itu nafsu. Buang saja segala ingin-ingin itu. Ganti dengan rasa. Rasakan saja Rasulullah shalat. Tidak ada syiriknya dan tidak ada mustahilnya. Tidak ada syiriknya sebab yang mengajarkan umat supaya tidak syirik itu Rasulullah. Rasakan yang di sama-tengah hati itulah Rasulullah. Yang esa dengan Tuhan itu hanya Rasulullah. Yang perlu kita ketahui adalah Allah dan Rasul. Yang diakui pun Allah dan Rasul. Pergunakan iman zauqiyah ini, yakni iman rasa. Jangan jadi manusia yang bicara, "Allah. Allah," tapi dengan tidak merasakan Allah. Kalau merasakan Allah, mustahil tidak dipelihara Allah. Kalau dipelihara Allah, tentu tidak celaka. Banyak orang, banyak ulama, banyak kyai, banyak habib, banyak hazrat, banyak syarif-syarifat, banyak ustadz-ustadzah bicara "Allah", tapi tidak merasakan Allah. Untuk apa takut dan minder pada orang-orang yang hanya pandai bil ilmi sambil tidak bi-zauq, tidak merasakan Allah. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَّمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَن لِّمَن شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ [٢٤:٦٢ Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Nur:62]
Artinya, kita tidak bisa bercerai dengan Rasulullah. Apapun yang kita kerjakan, musti kita mohon izin dulu ke Rasulullah, baru ke Tuhan. Mustahil bisa langsung ke presiden tanpa melalui ajudannya dulu. Kalau ada perlu dengan Tuhan, carilah pribadi yang dipercaya Tuhan. Ingat Anda, jangan kita lupakan Rasulullah. Karena Rasulullah tidak pernah bohong. Kalau Rasulullah bohong, tentu bohong juga Allah. Karena Rasul itu menyampaikan apa yang disampaikan Allah kepadanya. Allah sampaikan kepada Rasulullah perintah shalat, ya kita shalatlah. Allah sampaikan kepada Rasulullah perintah takbir, ya kita bertakbirlah. Anda sebelumnya belum tahu. Sekarang tahu. Siapa yang menyampaikan Anda jadi tahu itu? Tentu orang yang dipercaya Tuhan. Coba banyangkan Anda buat kue, tetapi hasilnya bantat. Tentu anda bisa merasakan kekurangannya apa. Kurang telur-kah? Kurang lama di-mixer-nyakah, dan lain-lain. Siapa yang merasakan kesalahan anda dalam membuat kue itu? Tentulah Rahasia Tuhan itu yang merasakan. Jangan lupa, musti pandai-pandai menghubungkan rasa "ke dalam" itu atau musti pandai-pandai menghubungkan rasa ke kapas itu. Umpama: Diri merasakan ada kelainan pada tubuh kita. Diamlah. Hubungi rasa itu ke Rasulullah. Nanti ada getaran pada kita berupa pemberitahuan atau lainnya. Dari getaran rasa inilah kita dapat tahu. Begitu juga kalau kita merasa ada kelainan atau sesuatu yang "lain" pada jasad kita. Cobalah hubungi dengan "TUHAN TUBUHKU, MAHASUCI NYAWAKU, YAA BUDDUHUN". Juga kalau ada getaran-getaran "lain" di badan [pada saat tafakur, misalnya], langsung saja hubungkan rasa ke sama-tengah hati dengan mengucapkan kalimah hakiki tadi. Itu untuk "pakaian pribadi" Anda. Bukan untuk jadi dukun, melainkan untuk mawas diri. Baca lagi Q.S. Nur:62 tadi. "Kabulkan Muhammad akan apa-apa permintaan pertolongannya kepada kamu. Sampaikanlah Muhammad, doakanlah juga dia. Tunjukkanlah kemukminan itu kepada Allah, bukan kepada manusia. Jangan takut kalau sudah tahu ini. Ini semua untuk umat, bukan untuk ulama, bukan untuk habib, bukan untuk syarif, bukan untuk hazrat dan ayatullah, ini untuk umat. Manusia = Alam Kabir Insan Kamil Mukamil Kalau sudah tahu Kabir-Nya yang ada pada manusia. Jadilah seorang hamba itu manusia kamil mukamil. Sempurna sesempurna-sempurnanya. Illa Haqq Illa Haqqin, Illa Haqqin Illa Haqq "Muhammad itu haq Allah, Allah itu haq Muhammad." Jadi, apa susahnya membelah bulan itu?
ALAT MA'RIFAT
Perlu diketahui alat-alat untuk berhubungan dengan Tuhan. "Wa khaliqu Adama 'ala surati Muhammad." Dan Ku-jadikan Adam itu atas rupa Muhammad. Jadi jasad kita ini atau tubuh kita ini adalah alat yg zahir atau alat syariah. "Wa khuliqal insana 'ala surati Rahman." Dan Ku-jadikan insan itu atas rupa Rahman. Insan ini atas rupa Rahman. Insan yang rupa Rahman inilah bagian batin. Inilah alat yang di dalam [alat yg bermakrifat]. Alat makrifat inilah yang musti dihubungkan kepada Tuhan dengan mempergunakan Rasa: sampai merasakan betul-betul berhubungan dengan Tuhan. Inilah yang dikatakan zahir-batin shalat. Merasa panas, merasa sejuk, pahit, manis, semua itu nama-nama mahluk. Jangan rasa itu dihubungkan ke makhluk. Hubungan Rasa itu tidak boleh ke makhluk, musti ke Tuhan. Ketuhanan itu hanya Allah dan Rasul. Inilah ketuhanan. Hendaklah kita bisa memelihara jasad dan rasa. Banyak merasa sesuatu dan menyebut sesuatu itu akan menimbulkan cinta pada sesuatu. Bagaimana mau kenal Allah kalau masih ada nafsu. Nafsu yang selalu memperalat kita dengan Tuhan. "Athi'ullah wa athi'urrasul." Di mana letaknya athi'ullah wa athi'urrasul itu? Gunakanlah Ushul Makrifat.
|
Allah Qadim Azali Allah itu Qadim Azali
Allah Qodim Azali,tetapi ADA meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam itu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af`al-Nya. Semuanya ada di dalam alam. Sekalian baharu alam itu mengambil ruang. Ruang itu adalah Tubuh Yang Kosong. Dalam Kosonglah berbagai-bagai alam itu ada. Tubuh Kosong itu tidak bisa kita sebut alam, melainkan disebut Tubuh-nya alam. Kosong itulah Af`al Allah. Af`al itu di sini artinya Tubuh. Dan Tubuh itu artinya Jasad. Jadi, Tubuh Allah itulah jasadnya Qadim. Jasad Qadim itu jasad siapa? Tentulah Jasadnya Allah Ta`ala. Kehidupan kita seperti kehidupan ikan di dalam air. Ikan dan air tidak bisa bercerai. Begitulah tubuh dengan nyawa. Kalau tidak ada ruang tempat ber-ada, tentulah tidak ada keduanya. Keber-ada-an kita ini memerluakan ruang. Pahamilah betul-betul sampai paham masalah ruang ini. Di bangku sekolahan saja ada pelajaran ilmu ukur ruang. Dalam hati ada cahaya, tentulah ada yang berdiri pada cahaya itu. Cahaya lampu saja terang, mustahil tidak ada yang berdiri di dalam cahaya itu. Yang ada di dalam cahaya hati itu Nur Muhammad. Nur Muhammad inilah diri kita yang batin. Diri ini ada di sama-tengah hati. Biasa disebut Rahasia atau nyawa. Perhimpunan diri itulah Ruh Qudus. Sewaktu kita takbir ihram, semua berhimpun di dalam Rahasia yang di sama-tengah hati. Jangan dihimpun-himpunkan. Sudah begitulah ketentuannya kalau kita takbir ihram. Kalau sudah tahu, hendaklah berkhidmat pada Allah. Jangan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas. Bisa menjadi bala` kalau kita terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu sebab akan merusakkan shalat kita. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu akan mendatangkan bahaya pada diri kita karena jin-setan-Iblis bisa meniru apa saja. Kalau terpaku pada hal-hal itu lalu ia sampai masuk ke badan kita, akan menjadi bala`. Ini banyak terjadi pada orang yang sedang berzikir. Terpaku dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas ini, lalu orang ini asyik dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas itu lalu masuklah ke badannya. Tidak tahu dia bahwa itu bukan cahaya Allah, justru setan yang masuk ke badan. Maka perlu dijaga berkhidmat kepada Allah yang laysa kamitslihi syai`un. Orang yang sudah tahu ke-laysa kamitslihi syai`un-an Allah, tidak mungkin akan terpengaruh dengan yang datang-datang, terpandang-pandang, terlintas-lintas karena semua itu bukan Tuhan. Tuhan tetap laysa kamitslihi syai`un.
Seperti bola lampu senter: apabila kuat terangnya, tidak kelihatan kawat di dalamnya. Seperti besi yang ditempa: tidak kelihatan lagi besinya, bara saja yang kelihatan. Begitulah semestinya kita dalam ibadah apa saja. Tidak ada pengaruh-pengaruh lagi. Kita akan merasakan Perbuatan Allah saja yang ADA. Di sinilah kita perlu berkhidmat pada Allah dan kita akan mendapat pelajaran dari Allah. Khidmatkan diri kita pada Allah yang laysa kamitslihi syai`un, maka kita akan merasalah ke-laysakamitslihi-an Allah itu. Rahasia Allah itulah Ruh Qudus: Diri Yang Kuasa. Ada pada sama-tengah hati. Itulah tempat husnul khatimah. Shalatlah di tempat husnul khatimah, yakni tempat yang penuh rahmat. Orang menyebut, "Allah." Yang disebutnya itulah kebesaran Diri Yang Maha Esa. Tuhan membuktikan kemahaesaan Diri-Nya: di-ada-kan-Nya Zat, Sifat, Asma, Af`al-Nya menjadi sekalian alam. Itulah sebabnya alam itu Rahasia Tuhan. Rahasia-Nya. Kalau kita sudah tahu yang dinamakan Rahasia Tuhan itu, tahulah kita bahwa Tuhan itu tidak ber-Zat, tidak ber-Sifat, tidak ber-Asma, tidak ber-Af`al. Tuhan menjadikan Zat, Sifat, Asma, Af`al, tentulah Tuhan bukan Zat, bukan Sifat, bukan Asma, bukan Af`al karena tidak ada yang menjadikan [atau menciptakan] Tuhan. Untuk apa yang dijadikan Tuhan mau kita samakan dengan Tuhan. Lebih baik kita khidmatkan saja diri kita pada Tuhan. Akan terbukalah kerahasiaan Tuhan. Mau bertemu dengan barang yang hilang, kita mencari ke sana-ke sini. Kalau mau mencari Tuhan, tidak perlu cari ke sana-ke sini. Sebaik-baiknya diam saja. Karena Tuhan tidak bergerak-tidak diam; tidak datang-pergi, tidak keluar-masuk, tidak naik-turun, yang naik-turun; keluar-masuk itu napas, napas bukan Tuhan. Lebih baik masuk ke tempat husnul khatimah. Orang tahu diam secara syariat saja, seperti melamun ketika susah. Diam yang dikatakan di sini bukan yang seperti itu, melainkan diam yang dikatakan Rasulullah sebagai "diam itu emas". Diam yang bernilai emas ini bagaimana? Inilah diam yang perlu dicari dan dipelajari. Diam emas yang diperintahkan Nabi inilah yang musti kita cari dan kita praktikkan.
BERTEMU RASULULLAH
Jika kamu sudah paham tentang rahasia hakikat, buka surah Nuur:62. Kamu pahami secara hakikat. Untuk apa bicara dengan "eyang-eyang" bau menyan itu. Lebih hebat bicara dengan Muhammad Saw. Kalau kenal. Tidak kenal mana bisa bicara. Kita musti bisa bicara dengan Nabi Muhammad Saw. Musa a.s. bisa berkata-kata dengan Allah. Mustahil kita umat Rasulullah tidak bisa berkata dengan Muhammad Rasulullah Saw. kapan saja. Muhammad itu sifatullah; kenyataan yang ada ini. Lakon Muhammad-lah dipercaya. Berhubunganlah dengan yang dipercaya-Nya. Apa perlunya berhubungan dengan "eyang jengkol-mbah petai"? Semua sudah diserahkan pada yang dipercaya-Nya, yakni Muhammad Saw. Bukan diserahkan pada makam-makam keramat wali-wali, apalagi makam-makam keramat jin, setan, Iblis yang disebut "eyang jengkol mbah petai". Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mu’min ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan [Rasulullah] sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu [Muhammad] mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Q.S. Nuur:62] Orang sebenar-benar mukmin jualah yang selalu ingat bahwa al-Quran itu rahmat bagi seluruh alam sehingga segala yang terkandung di dalamnya berlaku sampai yaumil qiyamah. Selama alamin masih ada. Maka orang-orang mukmin yang disebutkan dalam surah Nuur:62 di atas, bukanlah orang-orang yang akan menertawakan Perjumpaan Zahir-Batin dengan Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
CAHAYA TUHAN BERNAMA ALLAH
Ketika belum ada sesuatu, tentu belum ada yang mengatakan Tuhan. Kemudian Tuhan Berkehendak diri-Nya disebut Tuhan dan minta dikenal, maka diciptakanlah makhluk. Makhluk apa yang pertama diciptakan-Nya? Inilah yang perlu dikenal, yaitu Cahaya Diri-Nya Sendiri. Inilah Rahasia Diri-Nya, inilah yang bernama Allah. Jadi, Cahaya Diri Tuhan itulah yang bernama Allah, juga bernama Nur, juga bernama Rahasia. Insan dan semesta alam juga dari Cahaya Diri-Nya. Jika Cahaya itu diri kamu, sampailah kamu dan beserta Tuhanlah kamu.
۞ ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشۡكَوٰةٍ۬ فِيہَا مِصۡبَاحٌۖ ٱلۡمِصۡبَاحُ فِى زُجَاجَةٍۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّہَا كَوۡكَبٌ۬ دُرِّىٌّ۬ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ۬ مُّبَـٰرَڪَةٍ۬ زَيۡتُونَةٍ۬ لَّا شَرۡقِيَّةٍ۬ وَلَا غَرۡبِيَّةٍ۬ يَكَادُ زَيۡتُہَا يُضِىٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٌ۬ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ۬ۗ يَہۡدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُۚ وَيَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَـٰلَ لِلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬ (٣٥) Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca [dan] kaca itu seakan-akan bintang [yang bercahaya] seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, [yaitu] pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur [sesuatu] dan tidak pula di sebelah barat [nya], yang minyaknya [saja] hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya [berlapis-lapis], Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-Nur:35)
ZIKIR SAMPAI KE TUHAN
Zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. "Man arafallaha kalla lisanuhu", siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan, kelu lidahnya. (hadis). Mulut kita berucap "Laa ilaaha illallah". Dari mana munculnya perkataan ini? Dari hati. "Laa ilaaha illalah" yang dari hati ini dari mana asalnya? Dari sirr hati. Yang dari sirr hati ini dari mana? Tentulah dari dalam sirr. Yang di dalam sirr itu siapa? Rahasia Allah. Jadi kalau kita cermati, siapa yang sebenarnya berzikir itu? Syariatnya > kita berzikir Hakikatnya > kita menzikirkan Yang Punya Nama Makrifatnya > Yang Punya Zikir Berzikir Kalau belum tahu bahwa yang di dalam sirr ini berzikir, bagaimana Anda akan karam dalam zikir? Paling-paling Anda hanya dapat karam dalam sebutan zikir saja. Kalau Anda dapat yang di dalam sirr itu berzikir, tentu berjalanlah Anda dengan yang di dalam sirr itu kepada Allah. Inilah amal yang sampai ke Tuhan. Jadi, tidak akan mudah untuk karam di dalam sirr kalau kita tidak mendapati yang di dalam sirr itu berzikir. Takrif Zikir [Pengenalan Jalan Amal sehingga Tetap pada Tujuan] Kalau kita hendak berzikir, perlu dulu tentang takrif zikir atau tujuan zikir. Yang dikatakan tarikat itu jalan. Jalan menuju ke mana? Tentulah menuju kepada yang dimaksud. Yang dimaksud itulah tujuan zikir, yaitu Allah. Kalau mulut berzikir menyebut laa ilaaha illallah, yang di dalam sirr itulah yang kekal kepada Allah. Karena munajatnya orang yang berzikir itu Ilaa Ilahu Anta maksudi wa makrifataka bi a'tinii mahabbata wa makrifataka, 'tidak ada yang kumaksud hanya Engkau ya Allah'. Kalau sudah Allah yang kita maksud, untuk apa terpengaruh dengan yang terpandang-pandang dalam zikir. Kalau terpengaruh dengan yang terpandang-pandang ketika berzikir, berarti kita sudah menyimpang dari maksud semula karena mestinya munajat kita hanya pada Allah. Allah itu sudah pasti laysa kamitslihi syaiun. Apa pun yang terpandang-pandang itu bukan laysa kamitslihi syaiun. Biar surga sekali pun yang dipandangkan, itu tetap bukan yang laysa kamitlsihi syaiun. Orang yang tidak bermaksud kepada selain Allah tidak akan terpengaruh dengan itu. Jadi dalam beramal ibadah apa saja, takrif (tujuan) itulah yang kita pegang. Bukan zikirnya yang kita pegang, takrifnya itu yang kita pegang. Kalau sudah pada Allah saja takrif zikir, mestinya tidak mungkin ada orang berzikir sampai histeris, mabuk, atau bahkan pingsan karena Allah tidak bersifat zalim. Jangan sampai kamu banyak berzikir lalu malah timbul kelainan jiwa. Munajat Munajat itulah niat ikhlas orang yang berzikir. Tidak ada maksud kepada selain Allah. Kalau tidak paham tentang munajat dan takrif zikir, bisa-bisa dimabukkan oleh zikir. Asyik kepada yang bukan dimaksud semula. Kalau hal yang bukan Allah sudah masuk ke badan, inilah yang jadi penyakit. Musyahadah Zikir itu untuk mendapatkan musyahadah. Musyahadah untuk mendapat fana. Fana fillah itu untuk mendapatkan baqa billah. Kalau sudah baqa billah, mana ada fana lagi karena fana itu awal baqa. Kalau sudah dapat baqa, mana ada fana lagi. Kalau sudah dapat fana, mana ada musyahadah lagi. Kalau sudah dapat musyahadah, mana ada zikir lagi? Inilah yang disampaikan di awal tulisan ini. Bahwa zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. Sebetulnya jalan yang sampai kepada Allah itu ada empat, yaitu Syariat ← kenyataan yang di-ada-kan Allah. Berlaku pada anggota zahir, yaitu berupa perintah (amar) dan larangan (nahi);
Tarikat ← jalan yang menyempurnakan syariat. Berlaku pada hati. Contoh praktiknya: mulut berkata "merah". Hati harus yakin bahwa barang yang disebut itu benar-benar merah. Inilah disebut menyempurnakan syariat.
Hakikat ← keyakinan kita kepada yang wajib dipercaya. Hanya satu, yaitu Allah. Berlaku pada sirr hati (nyawa). Makrifat ← pengenalan yang sempurna tentang Allah. Bagaimana pengenalan yang sempurna pada Allah itu? Yaitu semua yang terpandang, terpikir, terasa, tersentuh, tercium, dan lain-lain itu bukan Allah. Karena orang yang sempurna mengenal Allah itu keyakinannya tetap. Bahwa Allah itu laysa kamitslihi syaiun. Syariatnya, kita berzikir. Makrifatnya, Rahasia Allah itulah yang berzikir atau yang di dalam sirr itulah yang berzikir. Perkataan ini bukan hendak menjadikan kita adalah Allah atau setara dengan Alah, melainkan kita meyakinkan Zat Allah itulah Diri Allah, bukan kita adalah Allah. Kesimpulan kata: Zat Allah itulah yang memuji Tuhannya. Kalau kita sudah dapat jalan pengetahuan ini, dapatlah kita jalan musyahadah, muraqabah, dan jalan ahlul kasyaf. Jalan musyahadah itu hanya kita mengetahui. Amalannya bukan pakai baca-baca lagi karena amalan batin itu pakai pandangan mata hati (syuhud matahati) Jalan muraqabah itu adalah pandangan mata hati tidak lepas dari takrif. Seperti kucing yang mengintai tikus. Fokus tidak berpaling dari target. Jalan ahlul kasyaf. Ini tidak cukup dengan paham saja, melainkan harus dengan bimbingan khusus. Seperti kita membimbing bayi sampai dia baligh. Contoh praktik ahlul kasyaf: Kita melihat tulisan. Sebenarnya yang kita lihat kertas putih, tetapi yang tampak tulisannya. Justru karena melihat kertas putih itulah kita bisa melihat tulisan. Coba andai kertas putih itu terbuka, masuklah ke kertas putih itu. Akan tampak semua tulisan. Ini baru mukadimah soal kasyaf. Tips Praktik Zikir yang Mengesakan Allah: Sampai Kelu Di awal tulisan tadi disebutkan "zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu". Nah, bagaimana cara praktiknya? Katakanlah kita hendak berzikir dengan pujian "Subhanallah" sebanyak 5000x. Belum sampai 2000x, mulut-lidah sudah letih. Lama-lama zikir pindah ke dalam hati. Belum sampai 3000x, hati pun letih. Zikir pindah ke sirr hati. Belum sampai 4000x, sirr hati terhenti sendiri lalu yang di dalam sirr yang berzikir. Itulah kelu. Itulah zikir berjalan sendiri. Kalau zikir sudah berjalan sendiri, tidak bisa dihitung lagi. Tak terhingga jumlah pujiannya. Kamu berzikir pakai tasbih sampai pecah, tetap kalah jumlah hitungannya dengan zikir kaum arif billah. Tapi, tidak akan bisa zikir berbunyi sendiri kalau Kamu tidak tahu memasang rukun qalbi (diam-tafakur hakekat) yang berlaku dalam segala bentuk ibadah dalam Islam. Berzikir-zikir tanpa "diam", tanpa takrif yang benar itulah yang membuat ahli zikir jadi menyimpang pola-pikir dan tingkah lakunya. Ucapkanlah kalimah-kalimah zikir atau wirid itu tanpa terputus. Ucapkan secara bersambung dalam satu tarikan napas. Begitu napas habis, ulangi lagi ucapkan secara bersambung seperti sebelumnya. contoh zikir yang benar mengesakan Allah: meski jumlah bacaannya banyak, Allah-nya tetap Satu. "AllaaahuAllaaahuAllaahu" contoh zikir yang lalai mengesakan Allah. Jumlah bacaannya banyak karena terputus-putus, jumlah Allah-nya juga ikut banyak. "Allaaah. Allaah. Allaah." Bisa jadi karena banyak yang membaca seperti cara terakhir itulah banyak orang yang setelah banyak berzikir malah jadi "tidak waras", atau malah pingsan, bahkan sampai kesurupan. Zikir itu ibadah. Mustahil ibadah itu merusak zahir-batin kalau teori dan praktiknya sesuai dengan Quran dan sunnah. Itu sebabnya zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu. Kalau banyak-banyak, banyak juga yang mau masuk ke badan kita lalu mengaku Tuhan. Inilah siasat Iblis-setan agar manusia-manusia saleh ahli zikir tidak lurus sampai ke Allah, melainkan kepada yang terpandang-pandang, terasa-rasa, terpikir-pikir, terbayang-bayang, dan lain-lain. Nauzubillah.
ALLAH TIDAK BERTEMPAT
Shadrul Islam, al-'Aalim, al-Ushuli al-Mutafannin, al-Imam Abu Manshur Abdul Qaahir bin Thoohir bin Muhammad at-Tamimi al-Isfarayini al-Baghdadi ada seorang ulama besar bermazhab Syafi`i dan antara pemuka al-'Asyairah yang masyhur. Beliau hidup sebelum Ibnu Taimiyyah al-Harrani di mana beliau wafat dalam tahun 429H. Beliau sezaman dengan Imam Muhammad al-Juwayni (ayahanda Imam al-Haramain Abdul Malik bin Muhammad al-Juwayni, guru Hujjatul Islam al-Ghazali) dan termasuk generasi ketiga para Imam al-'Asyairah. Antara ulama yang menjadi gurunya ialah Imam Abu Ishaq al-Isfarayini yang masyhur itu. Imam Abu Manshur 'Abdul Qaahir al-Baghdadi menuntut ilmu sehingga menguasai 17 cabang ilmu dengan baik, sehingga beliau dipuji oleh Syaikhul Islam Abu Utsman as-Shabuni sebagai " salah seorang Imam Ushuluddin yang paling utama dan berotoriti mengenai Islam dengan ijma` ulama-ulama kenamaan dan berwibawa. Antara kemegahan beliau ialah Imam al-Baihaqi, Imam Abul Qasim al-Qusyairi dan Imam Nashir al-Mirwazi adalah antara murid-murid beliau. Imam besar ini juga meninggalkan banyak karangan yang bernilai, antaranya: 1. Bulughul Mada min ushulil huda; 2. Fadaih al-Karramiyyah; 3. al-Farqu bainal firaq; 4. al-Fakhir fil awail wal awakhir; 5. al-'Imad fi mawaritsil 'ibaad; 6. Ibtal al-qawl bit tawallud; 7. Manaqib al-Imam asy-Syafi`i; 8. Masyariq an-Nur wa Madarik as-Surur fil kalam; 11. Syarh Miftah Ibn al-Qass; 13. Nasikh al-Quran wa mansukhhuh' 15. Naqd Abi Abdillah al-Jurjani fi tarjih Madzhab Abi Hanifah; 16. al-Qadhaya fid dawr wal washoya; 17. Syarh hadits Iftiraq Ummati; 19. Tafdhil al-faqir ash-shobir 'ala al-ghani asy-syakir; Berhubung persoalan "di mana Allah?", Imam Abdul Qaahir bin Thoohir bin Muhammad al-Baghdadi menulis dalam karangannya yang masyhur "al-Farqu baina al-Firaq" pada fashal ke 3 dalam menerangkan segala usul yang telah disepakati (telah diijma`kan) oleh Ahlus Sunnah wal Jama`ah pada halaman 256 menulis antaranya: Dan Ahlus Sunnah wal Jama`ah telah ijma` bahawasanya Allah s.w.t. tidak bertempat dan tidak lalu atas-Nya masa, bersalahan dengan pegangan golongan al-Hisyaamiyyah dan al-Karaamiyyah yang mendakwa Allah bertempat di arasyNya. Dan telah berkata Amirul Mu'minin 'Ali r.a.: "Sesungguhnya Allah ta`ala telah menciptakan arasy untuk menzahirkan qudratNya dan bukan untuk dijadikan tempat bagi zatNya". Baginda juga berkata: "Dan adalah Allah ta`ala wujud tanpa tempat dan Dia sekarang atas sebagaimana sediakalanya". Kesimpulannya, mudah sahaja: Kewujudan Allah berbeza dengan kewujudan makhluknya. Antara perbezaannya ialah wujud Allah tanpa bertempat dan wujud makhluk mengambil tempat dalam bahasa tok-tok guru dulu "mengambil bagi lapang". Bagaimana orang yang berakal boleh menempatkan tempat bagi Allah, sedangkan tempat itu juga satu makhluk yang baharu. Jika dikatakan Allah di atas arasy, maka yang dimaksudkan dengan atas itu adalah kadar kedudukan atau maqamnya yang Maha Tinggi dan bukannya difahami secara zahir sebagai tempat kedudukannya. Insya-Allah, di lain posting kita akan lihat tafsiran para ulama kita berhubung dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini. Kita beriman dengan firman Allah bahawa Dia beristiwa` atas arasy sebagaimana difirmankanNya, tetapi tidaklah dikita ketahui makna hakikat firmanNya itu dan kita serahkan maksudnya kepada Allah semata-mata tanpa pergi lebih jauh daripada itu. Inilah pegangan kebanyakan ulama Salaf. Tetapi jika ada ulama yang mentakwilkan istiwa` itu sebagai menguasai, maka tidaklah boleh dikeji sebagai silap, kerana hakikatnya memanglah Allah yang menguasai arasy dan sekalian makhluk ini. Hanya yang sesat ialah orang yang mengatakan bahawa Dzat Allah itu memang berada atau bertempat di arasy, maka itulah pendapat yang salah dan sesat. Maha Suci Allah daripada mengambil bagi lapang. Penulis Asal : Abu Muhammad (Bahrus Shofa) Huraian Lanjut "Dimana Allah" - Pegangan Ahlus Sunnah wal Jamaah Assalamu'alaikum. Segala Puji bg. Allah Yg. Maha Esa, Selawat & Salam Buat Nabi Junjungan Muhammad S.A.W. Merujuk posting terdahulu mengenai "Dimana Allah", maka di sini kubawakan akan hujahku agar jelas 'itiqadku buat teman2 semua. Renungkanlah dgn hati yg terbuka kerana kita semua hanyalah pada jalan meng-Esa-kan Allah. Tiadalah niatku untuk berdebat atau menjadi juara akan pada perkara ini. hanyalah menyatakan akan pegangan sebenar ahlus sunnah waljama'ah. Dan berpegang akan Perintah Kekasih kita Nabi Muhammad S.A.W. "Ballighu minni lau al- ayat" . Mudah2an mendapat Rahmat Allah akan kita sekeliannya. Disini ku nukilkan huraian lanjut mengenai perkara tersebut yang telah dihuraikan oleh saudaraku Abu Muhammad. Wassalam. Antara dalil yang biasa dikemukakan oleh puak hasywiyah bagi menetapkan Allah bertempat di langit ialah Hadits Jariah. Maka dijajalah hadits ini ke sana ke mari untuk menegakkan pegangan mereka bahawa Allah itu mengambil tempat di langit, subhanAllah. Maka ramai, kalangan awam terpengaruh dengan kalam fahisy mereka ini, serta beri'tiqad bahawa Allah itu di langit, subhanAllah. Tidaklah mereka mengetahui bahasan dan penjelasan dan keterangan daripada para ulama kita berhubung dan mengenai hadits tersebut, sama ada kerana memang mereka tidak mengetahuinya atau sengaja buat-buat tak tahu. Ulama-ulama kita sebenarnya telah membahaskan dengan panjang lebar akan hadits ini dari segala aspeknya, baik sudut riwayat dan thuruqnya, sehinggalah kepada perbezaan lafaznya antara satu riwayat dengan riwayat yang lain kerana Hadits Jariah ini mempunyai riwayat yang berbilang-bilang. Untuk posting ini aku nukil yang diriwayatkan Imam Muslim dalam "al-Jami` ash-Shohih" jilid 1, juzuk 2, halaman 70 - 71, kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih. Ianya adalah sebahagian daripada hadits yang panjang yang menceritakan kisah Sayyidina Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy r.a. mentasymit seseorang yang bersin ketika bersholat di belakang Junjungan Nabi s.a.w., lalu selesai sholat dia ditegur oleh Junjungan Nabi s.a.w. dengan menyatakan bahawa dalam sholat tidak boleh berbicara selain daripada tasbih, takbir dan pembacaan al-Quran. Setelah itu Sayyidina Mu`aawiyah telah bertanya beberapa persoalan kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan di antaranya ialah mengenai permerdekaan seorang hambanya (jariahnya) yang telah ditempelengnya. Untuk ringkas aku tidak nukilkan keseluruhan hadits tersebut, cuma aku letakkan di sini bahagian akhirnya berhubung dengan kisah jariah tersebut. Pada halaman 71, jilid 1, juzuk 2 kitab tersebut, Imam Muslim rhm. meriwayatkan, antara lain, sebagai berikut: "(Telah berkata Mu`aawiyah bin al-Hakam as-Sulamiy) Aku mempunyai seorang jariah yang menggembala kambingku di sebelah bukit Uhud dan al-Jawwaniyyah. Suatu hari ketika aku menjengoknya, tiba-tiba seekor serigala telah melarikan seekor kambing dari gembalaannya. Dan aku sebagai seorang manusia menjadi marah sebagaimana manusia lainnya, lalu aku menampar mukanya sekali. Kemudian aku mendatangi Junjungan Nabi s.a.w. dan baginda memandang serius perbuatanku yang sedemikian (yakni menampar muka si jariah tersebut). Aku berkata kepada Junjungan Nabi s.a.w.: "Wahai Rasulallah, adakah kumerdekakan dia", (yakni sebagai menebus kesilapan menampar tadi, dia hendak memerdekakan si jariah tersebut) ? Junjungan Nabi s.a.w. menyuruh agar si jariah didatangkan kepada baginda. (Apabila si jariah berada di hadapan Junjungan Nabi s.a.w.), Junjungan Nabi s.a.w. bertanya kepadanya: "Di manakah Allah ?" Jariah tersebut menjawab: " Di langit." Junjungan s.a.w. bertanya lagi: "Siapakah aku?", jariah tersebut menjawab: "Engkau Rasulullah." Junjungan bersabda: "Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman." Itulah matan hadits mengenai jariah tersebut, manakala di pinggir atau tepi halaman yang sama tercatat nota tepi seperti berikut: Perkataannya (yakni perkataan dalam matan hadits) - "Dia (si jariah) berkata: "Di langit," - yakni (sebagai membuktikan) bahawasanya dia bukan termasuk dalam golongan yang menuhankan selain Allah yang Maha Gagah yang kegagahan dan keperkasaanNya mengatasi segala hamba dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya. Dan dikatakan bahawasanya tafsir bagi firman Allah : "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu ..." (al-Mulk: 16 - Tafsir Pimpinan ar-Rahman), tafsir "Dia yang di langit" itu ialah Allah ta`ala dengan takwil kekuasaanNya (yakni ditafsirkan dengan takwil seperti dikatakan "Allah yang (kekuasaanNya) di langit" atau "Allah yang (pusat kekuasaanNya atau pemerintahanNya) di langit", bukan hanya ditafsirkan dengan semata-mata makna "Allah yang di langit") Sekarang, mari ikhwah lihat apa perkataan Imam an-Nawawi rhm. berhubung hadits ini. Komentar Imamuna an-Nawawi ini terdapat dalam syarahnya yang masyhur atas Shohih Muslim iaitu "Shohih Muslim bi syarhi al-Imam an-Nawawi", jilid 3, juzuk 5, halaman 24, di mana Imam an-Nawawi menyatakan, antara lain:- Sabda Junjungan Nabi s.a.w. ("Di manakah Allah ?" Jariah tersebut menjawab: " Di langit." Junjungan s.a.w. bertanya lagi: "Siapakah aku?", jariah tersebut menjawab: "Engkau rasulullah." Junjungan bersabda: "Merdekakanlah dia, bahawasanya dia seorang wanita yang beriman."). Hadits ini adalah daripada hadits-hadits sifat yang dalam memahaminya ada 2 mazhab (jalan atau cara) yang mana kedua-duanya telah dinyatakan terdahulu dalam kitab al-iman (yakni pada awal atau permulaan kitab). Jalan yang pertama ialah beriman dengannya (yakni dengan hadits tersebut) tanpa mendalami apa yang dimaksudkannya disertai dengan i'tiqad bahawasanya Allah ta`ala itu tidak menyerupai sesuatu apa pun dan mensucikanNya daripada segala tanda-tanda atau sifat-sifat makhluk. Jalan yang kedua pula ialah mentakwilkan hadits tersebut dengan apa yang layak bagi Allah. Maka sesiapa yang berpegang dengan jalan yang kedua ini, berpeganglah dia dengan bahawasanya yang dimaksudkan dengan hadits tersebut ialah Junjungan Nabi s.a.w. menguji jariah tersebut untuk mengetahui sama ada dia seorang ahli tawhid yang mengakui Maha Pencipta, Maha Pentadbir dan Maha Pembuat adalah Allah semata-mata, yang mana Dialah Tuhan yang apabila seseorang memohon kepadaNya maka dia menghadap ke langit sebagaimana apabila seseorang sembahyang dia menghadap kaabah, dan tidaklah perlakuan sedemikian ini (yakni menghadap ke langit ketika berdoa atau menghadap kaabah ketika bersholat) menunjukkan bahawasanya Allah terbatas di langit sebagaimana juga tidaklah Dia terbatas pada jihat (arah) kaabah (yakni Allah tidak dibatasi oleh sebarang tempat kerana Dia Maha Suci daripada segala tempat dan arah, subhanAllah). Bahkan perbuatan menghadap ke langit itu adalah kerana langit itu adalah kiblat orang yang berdoa sebagaimana kaabah itu kiblat bagi orang yang sholat. Atau si jariah tadi ialah seorang penyembah segala berhala yang menyembah berhala-berhala tersebut di hadapan mereka (yakni di sisi atau bersama mereka di bumi), maka tatkala dia menjawab: "Di langit," diketahuilah bahawasanya dia seorang ahli tawhid dan bukannya seorang penyembah berhala (yakni jika jariah tersebut seorang penyembah berhala, nescaya dia tidak akan menjawab bahawa Allah Tuhannya di langit, tetapi dia akan menunjukkan berhala yang disembahnya yang berada bersamanya di bumi ini). Telah berkata al-Qaadhi 'Iyaadh: "Tidak ada khilaf di kalangan umat Islam sekaliannya (qaathibatan), ahli-ahli fiqh mereka, ahli-ahli hadits mereka, ahli-ahli kalam mereka, para pemuka dan pengikut mereka bahawasanya segala nas yang pada zahirnya menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta`ala: "Patutkah kamu merasa aman (tidak takut) kepada Tuhan (yang pusat pemerintahanNya) di langit itu, menunggang-balikkan bumi menimbus kamu,.....( al-Mulk: 16 - Tafsir Pimpinan ar-Rahman) dan ayat-ayat yang seumpamanya tidaklah diertikan atau dimaknakan secara zahir bahkan ditakwilkan di sisi mereka semua (yakni semua umat Islam, salaf dan khalaf semuanya mentakwilkan nash-nash ayat dan hadits tersebut, cuma kebanyakan ulama salaf mentakwilkannya secara ijmal sahaja dan mentafwidhkan makna hakikinya kepada Allah semata-mata, sekali-kali tidak mereka berpegang dengan makna zahir ayat dan hadits tersebut, bahkan mereka takwilkan maknanya dengan mengakui kelemahan fikiran mereka untuk memahami makna hakikinya lalu mereka mensucikan Allah dari menyerupai makhlukNya serta menyerahkan bulat-bulat makna dan pengertian ayat atau hadits tersebut kepada Allah s.w.t. sahaja, manakala kebanyakan ulama khalaf mentakwilkannya dengan tafshil). Diharap ikhwah yang budiman boleh memahami akan perkara ini dengan sebenar-benar faham. Jelas sudah mengikut Imam an-Nawawi yang menukilkan kalam Qadhi 'Iyaadh yang menyatakan bahawa dengan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat yang mutasyabbihat, maka ianya ditanggapi dengan 2 cara atau kaedah, iaitu ditakwilkan secara ijmal dengan mentanzihkan Allah daripada menyerupai makhlukNya yang baharu dan ditafwidhkan maknanya terus kepada Allah semata-mata, tanpa sebarang komentar. Ini yang diisyaratkan oleh Imam Ibnu Hajar al-'Asqalaani yang menyebut dalam "Fathul Bari" bahawa Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang shohih daripada Imam Ahmad bin Abi al-Hawaari bahawasanya Imam Sufyan bin 'Uyainah rhm berkata: "Segala sifat yang difirmankan Allah bagi diriNya dalam al-Quran, maka tafsirannya ialah pembacaan ayat tersebut dan diam daripada membicarakannya." Hal ini jugalah dinyatakan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam "Fatawa Haditsiyyah" yang menyatakan bahawa sesungguhnya khilaf ulama salaf dengan ulama khalaf hanyalah pada penggunaan takwil tafshil sahaja, di mana ulama salaf lebih mengutamakan takwil secara ijmal dan mendiamkan diri daripada berbicara lebih lanjut mengenainya kerana keelokan zaman mereka itu menyebabkan perbahasan panjang lebar mengenai hal ini tidak diperlukan. Tetapi para khalaf mengutamakan takwil secara tafshil kerana zaman mereka telah banyak manusia-manusia yang rosak, ahli-ahli bid`ah dan sebagainya. Untuk memperjelaskan lagi, yang dimaksudkan dengan takwil ijmal itu ialah lencongan makna kalimah dengan ringkas tanpa memberi erti alternatifnya. Contoh, kalimah al-yad yakni tangan, jika dikatakan "Tangan Allah atas segala tangan mereka", maka takwil ijmalnya ialah kalimah tangan di sini dilencongkan maknanya dari pengertian biasa sebagai satu anggota atau satu juzuk tubuh badan kepada makna selain pengertian biasa tersebut, iaitu ianya bukan membawa erti satu anggota atau satu juzuk daripada Dzat Allah yang Maha Mulia, tetapi ianya adalah satu sifat yang tidak kita ketahui akan hakikatnya dan Allah sahaja yang mengetahui hakikatnya. Maka tangan yang asal maknanya satu juzuk anggota dilencongkan maknanya kepada satu sifat yang lemah akal kita untuk memahami hakikatnya. Inilah takwil ijmal perlakuan kebanyakan salaf. Tidaklah mereka beri'tiqad bahawa Allah itu bertangan dengan tangan yang layak bagi Dzatnya. Ini bukan i'tiqad para salaf, tetapi i'tiqad orang-orang yang mengaku salaf zaman ini. Bila salaf kata tangan Allah, ia merujuk kepada satu sifat dan bukan satu juzuk atau satu anggota daripada Dzat yang Maha Mulia, subhanAllah, Maha Suci Allah daripada berjuzuk-juzuk dan beranggota-anggota. Kaedah ini memang lebih selamat (aslam), kerana hanya Allah sahaja yang Maha Mengetahui, tetapi bagi kalangan awam yang hanya duduk mendengar - dengar sahaja mungkin dikhuathiri membawa fitnah kerana awam akan memahami kalimah tangan itu dengan makna lazim iaitu satu anggota, lalu beri'tiqadlah si awam bahawa Allah juga beranggota kerana mempunyai tangan, cuma tanganNya tidaklah seperti tangan makhluk, iaitu tangan yang layak bagi DzatNya, subhanAllah, ini tidak lain melainkan i'tiqad hasywiyah dan mujasimah yang mentasybih serta mentajsimkan Allah, subhanAllah. Oleh itu, apabila sampai zaman khalaf, di mana manusia-manusia terutama golongan awam sudah mengutamakan dunia daripada akhirat, di mana banyak juhala` berbanding 'ulama, maka para Khalaf yang merupakan pewaris para salaf mentakwilkan ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyabbihaat ini dengan takwil tafshil demi menutup jalan bagi awam untuk berfikir yang bukan-bukan terhadap Dzat Allah yang Maha Mulia. Maka ditakwilkan tangan itu kepada kekuasaan dan sebagainya, maka bila dikatakan "Tangan Allah di atas segala tangan mereka", ditakwilkanlah secara tafshil sebagai "Tangan yakni kekuasaan Allah mengatasi segala kekuasaan mereka". Maka terhindarlah orang awam daripada berfikir yang bukan-bukan, oleh itu dikatakan bahawa jalan khalaf ini lebih ahkam yakni lebih mantap kerana ianya memantap dan menetapkan pegangan awam serta mencegah mereka daripada mengkhayal-khayalkan sifat yang tidak layak bagi Allah, seperti menyerupai akan segala makhluk yang baharu. Harap segala ikhwan, baik lelaki maupun perempuan, khuntsa pun jika ada, faham betul-betul akan bahasan ini. Jika masih belum faham, maka diam itu keselamatan sebagaimana sabdaan Junjungan Nabi s.a.w. : man shomata najaa (yakni "Sesiapa yang mendiamkan diri, selamat"), dan duduklah tuan dan puan, sidi dan siti di hadapan para ulama tuan-tuan guru dengan mengaji menadah segala kitab peninggalan para ulama salaf dan khalaf. Sesungguhnya ilmu itu cahaya, bertambah ilmu nescaya bertambah cahaya, insya-Allah, tapi syaratnya hendaklah ilmu yang naafi` yang bermanfaat, bukan ilmu semata-mata ilmu untuk berjidal dan bermegah-megah. Berbalik kepada hadits jariah tadi, maka selain penjelasan di atas, ada lagi penjelasan dan keterangan lain daripada para ulama kita dari berbagai aspek bahasannya. Dari semua penjelasan tersebut, maka mereka menyimpulkan bahawa apa yang dimaksudkan oleh hadits tersebut bukanlah menetapkan tempat bagi Allah. Oleh itu, sesiapa yang mengatakan bahawa Allah itu bertempat di sesuatu tempat seumpama langit, maka menyalahilah dia akan pegangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah, jadi janganlah dok perasan bahawa dirinya pembela Ahlus Sunnah wal Jama`ah. Dan tidaklah tepat baginya untuk menjadikan hadits jariah ini sebagai hujjah untuk mensabitkan bahawa Allah bertempat di langit. Apatah lagi hadits ini walaupun shohih tidaklah mencapai darjat mutawatir. Maka apa caranya dia hendak menjadikan hadits ini sebagai hujjahnya untuk menyesatkan orang yang tidak sependapat dengan i'tiqad hasywiyahnya itu. Perkara ini adalah antara kesimpulan yang telah ditekan dan diperjelaskan oleh mantan Mufti Tunisia, Syaikh Muhammad Mukhtar as-Salaami (hafizahUllah). Bahkan, jika dilihat "Shohih Muslim", kita dapati bahawa Imam Muslim rhm sendiri tidak meletakkan hadits ini dalam kitab al-iman atau bab-bab yang berhubung dengan keimanan dan pegangan aqidah tetapi beliau meletakkannya dalam bab fiqh berhubung hukum hakam sembahyang iaitu kitab al-masaajid wa mawaadhi` ash-sholaah, bab tahriim al-kalaam fi ash-sholaah wa nasakha maa kaana min ibaahatih (kitab mengenai masjid-masjid dan tempat-tempat sembahyang, bab haram berkata-kata dalam sembahyang serta menasakhkan riwayat yang mengharuskan berkata-kata dalamnya). Maka isyaratnya ialah hadits ini hanyalah untuk dijadikan hujjah dalam bab-bab fiqh semata-mata. Menjadikannya sebagai hujjah dalam mensabitkan secara qathi`e akan usul aqidah menunjukkan lemahnya si penghujjah itu daripada memahami uslub dan kaedah dalam menetapkan 'aqidah pegangan umat ini. Allahu a'lam Dicatat oleh Abu Muhammad Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36]. Ke-4 ulama salaf dari 4 mahzab ijma' untuk tidak dimaknai secara dhohir ayat-ayat mutasyabihat, meyakini dengan apa yang diturunkan Allah dengan apa adanya,tidak menta'wilnya dan tidak menayakan bagaimananya. Rujukan dari imam syafi'i Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته “Sesungguhnya Allah ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia (Allah) menciptakan tempat, sementara Dia (Allah) tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia (Allah) ada sebelum Dia (Allah) menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. [Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36]. Kemudian tentang hadist jariah : Inilah pemahaman Imam Syafi’i tentang Hadits Jariyah : Berkata Imam asy-Syafi’i –rahimahullah- : واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صح فكان النبي - صلى الله عليه وسلم - خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدون فيالأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب. “Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurutkadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan kawan nya sebelum Islam, merekameyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya,maka Nabi bertanya : “Di mana Allah?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabimengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan dilangit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datangdalam Al-Quran”. Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’i pada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ dan Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan Imam Baihaqqi, pada Bab: -ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصول الكلام وصحة اعتقاده فيها-
ILMU FIRASAT NABI KHIDIR
Tuhan mentajallikan Cahaya-Nya. Cahaya Tuhan itu bernama Nur. Jadi, Nur itu Cahaya Tuhan. Itulah Rahasia Tuhan. Rahasia Tuhan itulah juga dinamakan Muhammad yang awal dan Nur Muhammad itu juga dinamani titik Nur yang awal. Nur Muhammad sudah “lahir”, baru bersuara. Inilah suara Allah langsung pada Muhammad. Dari mana awal suara dari mulut dan lidah kita ini? Tentulah dari hati. Dari mana awal suara dari hati ini? Tentulah dari sirr. Dari mana awal suara dari sirr hati ini? Tentulah dari Zat. Dari mana awal suara dari Zat ini? Tentulah dari Allah. Dari Allah ⇒ Zat [Rahasia Allah] ⇒ sirr ⇒ hati ⇒ lisan Renungkanlah perjalanan suara ini. Dengan sirr ini kita dapat membedakan mana suara dari setan, mana suara dari Allah. Tuhan menjadikan kita punya zahir dan punya batin. Yang batin itu ruh dan yang zahir itu tubuh. Ruh ini Zat; tubuh ini sifat. Kelakuan zahir ini kelakuan dari mana? Dari batin. Kelakuan batin itu kelakuan siapa? Kelakuan Zat. Siapa yang berkelakuan pada Zat itu? Tentulah Zat-nya Zat, itulah Tuhan. Maka ketika orang tauhid sudah mengetahui jalan ini, dirasakannya semua dari Allah: minallah. Kalau sudah dirasakan oleh batinnya semua dari Allah, berarti batinnya sudah karam musyahadahnya pada Allah dan ketika melihat zahirnya itu, dirasakannya rasa isbat saja. Pengetahan ushul ini penting diketahui dan dipahami karena ushul itu kesempurnaan. Kalau tidak ada ushul, bagaimana kita akan mendapatkan kesempurnaan? Jadi, belajar itu hendaklah sampai pada pemahaman yang tidak dimakan oleh ushul. [tidak tertolak atau bertentangan dengan ushul] Ketahuilah bahwa Zat itu Diri Makrifat. Diri Makrifat itu menghimpunkan semua Af`al, semua Asma, semua Sifat, dan semua Diri. Sederhananya, Diri Makrifat itu menghimpunkan semua tubuh-hati-nyawa-rahasia. Diri Makrifat itulah yang menggerakkan Zat-Sifat-Asma-Af`al. Diri Makrifat ini Rahasia Tuhan yang ada pada Adam (kita). Kalau sudah paham ini, bagaimana lagi kita mau menyangkal bahwa tiada perbuatan baharu lagi? “Jika bukan karena engkau Muhammad, tiada Ku-ciptakan alam ini.” Apa hikmah perkataan [hadis qudsy] ini dari sisi hakiki? Kalau tidak ada engkau Diri Makrifat, tidak akan ada pergerakan jasad. Inilah isyarat dua kalimah syahadat. Jadi Diri Makrifat itu Sifat Tuhan juga Rahasia Tuhan. Jadi diri Makrifat itu jadi apa pada kita ini? Jadi ruh. Cahaya Diri Makrifat inilah yang menjadi firasatan, sedangkan Nur Muhammad itu menjadi per.ingat.an. Mengapa Nabi Khidr a.s. bisa mengetahui semuanya dan perbuatannya bertentangan dengan syara? Karena Nabi Khidr mengetahui Diri Makrifat itu firasatan. Sedangkan Diri Makrifat itu mustahil berbohong. Maka orang tauhid hakiki tidak bingung dengan kelakuan Nabi Khidr a.s. sebagaimana kisah dalam Q.S. al-Kahfi karena orang tauhid hakiki tahu soal firasatan dan per-ingatan ini. Dari sini diketahui bahwa Nabi Khidr itu Allah karuniai firasatan yang tinggi [ilmu hikmah]. Sebenarnya ilmu firasatan ini menggunakan bahasa Cahaya: Cahaya Ilahi. Timbulnya ingatan itu dari firasatan. Timbulnya firasatan itu dari Tuhan. Ciri bahasa Cahaya Ilahi itu: laa raiba fiihi hudan lil muttaqiin [Q.S. Al-Baqarah:2] alias tidak ada keraguan satu zarah pun! Nabi Khidr a.s. itu ahli bahasa Cahaya ini. Jadi, tidak usah heran kalau para wali Allah itu banyak mengetahui hal-hal yang tidak diketahui orang awam karena para wali Allah itu belajar dan menguasai ilmu firasatan alias bahasa Cahaya Ilahi ini dari Nabi Khidr a.s. Sang Murabbi. Susah mencari guru yang menguasai bahasa firasatan ini. Kalau yang pakai bahasa nujum, banyak.
HAJI HAKIKAT
orang naik haji, itulah masuk ke Kosong. Yang Kosong itu dari Wujud sampai Wahdaniyah. Itulah yang dinamakan wukuf. Wukuf itu diam. Itulah puncak haji. Jadi dalam wukuf itu tidak ada zikir-zikir, tidak ada baca-baca lagi. Kalau tahu masalah diam ini, haji hakikatlah dia. Bukan sekadar haji syariat lagi. Kalau tidak tahu masalah Kosong ini, bagaimana hajinya? Apa yang dimaksud wukuf itu? Diam. Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu. Arafah itu berada di mana kalau bukan di dalam Kosong; bertempat di Kosong. Jadi bukan sekadar wukuf di Arafah. Arafah itu sendiri di dalam Tubuh Kosong. Berbeda wukuf di Arafah dengan wukuf di Kosong. Pergi berhaji itu apa maksudnya? wa fii anfusikum afalaa tubsirun. Ka'bah itu bersifat Sulbiyah; Kosong ini penampang; kita ini hanya Nur. Inilah rukun yang enam: rukun haji. Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang, melainkan Kosong tembus-menembus tidak ada hijabnya. Inilah yang dikatakan pandangan Allah: tembus-menembus. Kosong ini Zat yang terdahulu ada. Jadi orang naik haji itu puncaknya masuk ke Kosong. Jadi, Kosong ini rukun haji. Kalau tidak paham ini, hajinya baru haji wukuf Arafah. Arafah ini ada di mana kalau bukan di Tubuh Kosong? Yang benar itu kita wukuf di Arafah atau wukuf di Tubuh Arafah? Masalah wukuf ini jangan disepelekan sebab inilah puncak segala ritual haji. "Siapa memandang dirinya putih: ihramlah dia. Hajilah dia. Usailah perjalanan ilmu dan Islamnya paripurna karena perjalanan Islam itu sampai rukun ke-6, yaitu haji." Waktu kita baru sampai di Arafah, apa yang kita pandang? Kosong dulu; bukan Arafahnya yang kita pandang. Kalau Arafahnya yang kita pandang, tidak ada bedanya dengan kita wukuf di tanah air. Sebab secara bahasa wukuf itu diam; arafah itu mengenal. Jadi wukuf di Arafah itu diam untuk mengenal. Kalau wukuf di arafah tapi tak ada pengenalan, apa bedanya dengan tidak wukuf di tanah air?!
Hakikat haji sebenarnya ialah untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Haji itu bukan untuk bisa melihat Ka'bah dari dekat lalu berfoto di depannya, bukan untuk mencium Hajar Aswad, melainkan untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita. Syaikh Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya, "karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja." Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan, "yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya." Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid, "Aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...." *** Syaikh Al-Junaid Al-Baghdadi q.s. kedatangan seorang tamu. Beliau bertanya, “Dari mana saja anda ?” Tamu itu menjawab, “Aku baru menunaikan ibadah haji”. “Sejak pertama berangkat dari rumah, apakah kamu telah meninggalkan semua dosa ?” Syaikh Al-Junaid q.s. kembali bertanya. “Belum”, tamu itu menjawab. “Berarti engkau tidak sedang dalam perjalanan ruhani. Apakah setiap beristirahat di malam hari, engkau melintasi semua maqam di jalan menuju Allah ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak menempuh perjalanan setahap demi setahap. Ketika memakai pakaian ihram, apakah engkau melepaskan sifat-sifat manusiawi seperti engkau melepaskan pakaian sehari-hari ?” “Tidak” “Berarti engkau tidak mengenakan pakaian haji (ihram). Ketika engkau singgah di ‘Arafah, apakah engkau menyaksikan (musyahadah) Allah ?” “Belum” “Berarti engkau tidak singgah di ‘Arafah. Ketika ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau telah meniadakan hawa nafsumu ?” “Belum” “Berarti engkau tidak pergi ke Muzdalifah. Ketika tawaf mengelilingi Ka’bah, apakah engkau telah menyaksikan keindahan non materil Tuhan ?” “Belum” “Berarti engkau tidak mengelilingi Ka’bah. Ketika sa’i antara sofa dan marwa, apakah engkau telah menggapai kesucian dan kebajikan ?” “Belum“ “Berarti engkau tidak sa’i antara sofa dan marwa. Ketika sampai ke Mina, apakah keinginanmu telah sirna ?” “Tidak” “Berarti engkau belum mengunjungi Mina. Ketika sampai di tempat penyembelihan kurban, apakah engkau mengurbankan segala hawa nafsu ?” “Tidak” “Berarti engkau belum berkurban. Ketika melempar batu jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu ?” “Belum” “Berarti engkau belum melaksanakan jumrah. Engkau belum melaksanakan ibadah haji. Kembalilah ! lakukan ibadah haji seperti yang aku gambarkan agar engkau bisa sampai ke maqam Ibrahim” Jadi haji itu untuk mendapatkan musyahadah tentang Tuhan. Wahai Anda yang sudah bergelar haji, sudah dapat ihram-nya belum? Meskipun kita wukuf di Mekah tapi tidak mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, sama saja dengan wukuf di Indonesia. Meskipun kita wukuf di tanah air, kalau mendapatkan musyahadah tentang Tuhan, di tanah sucilah kita. Wahai Saudara-saudaraku yang belum mampu pergi berhaji secara syariat, jangan berputus-asa. Firman Allah, berhaji itu bagi yang mampu. Kalau belum mampu pergi haji secara syariat, berusahalah pergi haji secara hakikat. Guru kami, Syaikh Undang Siradj, menjamin Anda meraih haji. Pasti haji. Bahkan gelar haji yang ini dibawa sampai ke akhirat. Makanya setiap habis shalat itu biasakan wukuf dulu. Setiap habis shalat itu biasakan bertafakur-hakikat dulu: diam dulu. Bagaimana diam yang dimaksud itu? Nanti kami uraikan. Ini bukan olok-olok karena pengetahuannya ada. Wahai kaum awan, janganlah terlalu awam benar. Ketahuilah masalah haji hakikat ini. Wahai kaum yang membangga-banggakan gelar haji. Kalau sekadar haji syariat, buat apa? Ini bukan mau membunuh rukun Islam, bukan mau membunuh syariat pergi berhaji ke tanah suci. Orang yang meraih haji hakikat, kalau dia sudah berkumur dalam wudhu, tidak ada lagi bicara dengan tujuan yang kotor. Orang yang meraih haji hakikat, kalau sudah membasuh kepala dalam wudhu, tidak ada lagi pikiran-pikiran untuk menipu orang dengan gelarnya. Orang yang meraih haji hakikat, kalau sudah lubang hidungnya terbasuh air wudhu, tidak ada lagi hidung melambung waktu orang memulakan panggilan dengan kata haji di depan namanya dan tidak ada lagi kebanggaan dalam hati, " Aku ini haji". Orang yang meraih haji hakikat, kalau tangannya sudah terbilas air wudhu, tidak ada lagi perbuatan yang bersifat merusak meskipun dengan alasan menegakkan yang haq. Orang yang meraih haji hakikat, kalau kakinya sudah diusap air wudhi, tidak ada lagi melangkahkan kaki ke tempat maksiat. Kalau ada haji yang masih berbicara dengan tujuan muslihat-kotor; berpikir untuk menipu orang, berbangga diri, berbuat kerusakan, dan berjalan ke tempat maksiat zahir dan maksiat batin, itu tanda-tanda haji yang batal. Haji syariat dan haji hakikat berbeda bagai siang dan malam; bagai langit dan bumi. Sikap seorang haji hakikat itu, yang jahat dinasihati, bukan dirusak. Baru bisa kelihatan Islam itu kuat karena bersifat menasihati. Haji-haji itu mestinya jadi penasihat orang maksiat, bukan jadi perusak tempat-tempat maksiat.
HAKIKAT MUHAMMAD Zat ini masalah qadim, tidak dapat diketahui dengan panca indera. Sifat itu masalah baharu, dapat diketahui dengan panca indera. Zat artinya diri. Sifat artinya kelakuan. Siapa yang berkelakuan? Tentulah diri (yang berkelakuan), bukan sifat. Itu dikatakan zat dan sifat itu satu (esa). Tidak bisa becerai. Ada zat, ada sifat dan sebaliknya. Karena zat itu tempat beradanya sifat (atau sifat bertempat pada zat). Sifat itu keadaan yang ada pada zat (atau sifat adalah hal keadaan zat). Contoh: Orang yang sedang demam. Mengapa bukan demamnya yang disuntik (dokter), malah bokongnya yang disuntik? Jadi, demam itu hanya sifat. Sifat tidak bisa berada pada sifat. Sifat mesti berada pada zat. Zat dan sifat itu dua perkataan, tetapi satu. Maksud perkataan ini; ada zat - ada sifat; ada sifat - ada zat. Zat ini ada yang bersifat nafsiyah, ada yang bersifat salbiyah, ada yang bersifat ma'ani, dan ada yang bersifat ma'nawiyyah. Khususnya sifat Nafsiyah. Sifat Nafsiyah ini menunjukkan bahwa zat bersifat wujud (ada). Dan adanya zat ini tidak dikarenakan oleh suatu sebab (sedia ada). Zat ini ada selama-lamanya. Tidak akan rusak binasa. Meliputi sekalian alam. Yang meliputi sekalian alam inilah zat mutlak. Zat mutlak inilah energi ketuhanan. Manusia dapat mengubah energi, tapi tidak bisa membersihkannya. Contoh: Hiroshima dan Nagasaki. Berapa lama tidak bisa dibersihkan radiasinya? Ketika sekarang sudah bersih dari radiasi nuklir, siapa yang membersihkannya? Tentulah energi ketuhanan itu yang membersihkannya. Jelaslah, maharuang inilah energi ketuhanan. Satu saja. Tidak ada dua, tiga, dst. Berjuta-bilyun bintang di langit dan benda-benda angkasa lainnya, mengapa tidak berguguran ke bumi? Padahal tidak ada penyangganya. (Bagaimana mungkin) kalau tidak ada satu kekuatan besar yang menahannya. Tubuh maharuang inilah yang dapat menahan berjuta-bilyun ton agar tidak saling bertumbukan. Inilah Qimyatus Sa'adah (Kimianya Agama). Nabi saja menuntut ilmu dari rumah beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Manusia, dari rumahnya sampai ke bulan saja belum sampai. Pengetahuan Islam sudah sampai ke fil ufuki a'la (sampai ke ufuk tinggi). Maka ada perkataan al-Islam ya'lu wa laa yu'la alaih. Orang Islam yang hakiki, dia tidak akan mengucap laa ilaaha ila Allah kalau dia belum tau apa itu laa ilaaha ila Allah. Dalam Salat Waktu takbir ihram, siapa Allah itu? Maka pentinglah mengetahui diri. Bukan ruhani saja yang mahasuci, jasmani pun mesti mahasuci juga. Maka jasad ini perlu dimahasucikan juga, bukan ruhani saja. Jasmani bermaksud dengan cara nafsu, ruhani bermaksud dengan cara keimanan, sedangkan nurani dan rabbani bermaksud dengan cara ketuhanan. Kalau jasad tidak dapat mengesakan, tentu ruhani menuntut. Sebab, jasad mengandung nyawa. Bukan ruhani yang mengandung jasad (tubuh). Kalau salat, manusia itu bukan hamba, sudah Allah semata-mata. Kalau salat itu sudah Allah semata (yang ADA), tidak perlu lagi mengaku diri kita ini Tuhan dan mau sama dengan Tuhan. Ingat: Mengaku diri kita Tuhan: KAFIR. Tidak mengakui Diri Tuhan: KUFUR. Dalam salat, setiap manusia mengaku dirinya Tuhan. Cermat-cermat dengan bahasa ini! Makanya dalam salat itu jangan ada lagi i'tikad-i'tikad karena agama bukan i'tikad-i'tikad. Sudah nyata senyata-nyatanya semua orang yang salat itu mengakui Diri Pribadi Tuhan. Bukan mengakui dirinya Tuhan, tapi mengakui Diri Tuhan (atau mengakui ADA-nya Diri Tuhan itu.) Hakikat Muhammad Wajib kita mengetahui hakikat Muhammad. Dalam ilmu, hakikat Muhammad itu Allah. Ini dalam ilmu. Dalam makrifat, pengenalan yang sebenar-benarnya: hakikat Muhammad itu bukan zikir-zikir lagi. Maka dengan hakikat Muhammad ini tidak ada zikir-zikir lagi. Karena hakikat Muhammad inilah bekal yang tidak basi sampai akhirat. Ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi. Lihat ketika berdoa, semua minta mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah, tapi hakikat Muhammad tidak mereka ketahui. Hakikat Muhammad inilah mati dalam iman, Islam, dan husnul khatimah. Muhammad saja sudah selamat. Coba perhatikan, siapa yang sampai kepada Allah? Siapa yang bisa menembus zat asam dan zat mutlak kalau bukan Muhammad? Belajarlah. Jangan salah paham. Mintalah pada guru-guru yang hebat bekal-bekal yang tidak basi sampai akhirat. Sebab ini yang dibawa mati. Tidak ada zikir lagi. Bukan seperti kelaziman orang: ada yang mau mati baru dibacakan zikir laa ilaaha ila Allah. Nabi Muhammad Saw. itu bukan mati, melainkan tidur hakiki. Orang tidur hakiki ini orang yang tidak tidur di dunia lagi, tetapi tidur di Mahasuci. Mahasuci inilah tempat husnul khatimah. Tempat yang penuh berkah. Inilah pengajian 80.000 hakikat ke atas. Artinya 80.000 tempat yang penuh rahmat. Inilah pengajian sirri sirrihi, rahasia di dalam rahasia. Tidak ada alam lagi. Rasanya rasalah yang merasa. Inilah rasa di dalam rasa. Artinya, di dalam rasa itu ada rasa. Air yang ada gulanya dapat kita rasakan manis. Air yang ada garamnya, asin. Sedangkan Tuhan tidak ada rasa-rasa. Pecahkan sendiri supaya terbuka rahmat Allah. Jangan kita merasa yang ada rasa saja, coba-cobalah merasa yang tidak ada rasanya. Bagaimana rasanya? Barulah tahu Allah itu surga. Muhammad Saw. tidak ada mengajarkan filsafat dan tidak memiliki filsafat. Akan tetapi, filsafat Muhammad ini wahyu. Bagaimana Tuhan mengajar hamba-Nya? Tanpa huruf; tanpa suara. Laa bi harfin wa laa shautin. Bagaimana kita untuk dapat paham pelajaran tanpa huruf tanpa suara ini? Asah akal dengan pikiran, bukan dengan batu canai. Apa maksudnya? BERPIKIRLAH! Contoh: Para filsuf itu membuat rumus-rumus alam dengan berpikir. Lalu rumus-rumus itu disyariatkan sehingga hari ini kapal berlayar tidak lagi pakai kain layar yang bergantung pada angin. Jangan latah! Mereka bilang manusia itu dari kera. Begitu ilmu wahyu turun, dikata manusia itu dari Tuhan. Runtuhlah ilmu filsafat manusia. Kenal diri Mau kenal diri? Buka Al-Mukminun :17.
PRAKTIK ILMU LADUNI
ILMU LADUNI ITU MUDAH Ilmu laduni itu Allah mengajar hamba-Nya. Bagaimana Allah mengajar hamba-Nya? Asah akal dengan pemikiran. Berpikirlah! Berpikir itu supaya mendapat karunia. Semua Perkataan Allah [Kalamullah] itu perlu dipikirkan. Yang kita cari: bi makna yang tersirat dalam Kalam Allah ini. Berpikirlah sedalam-dalamnya dan tenangkan pikiran, barulah dapat keputusan. Yakinkanlah keputusan itu berdasarkan haq dan dalil. Bukit saja yang jaraknya 1 km bisa kamu lihat. Mengapa Tuhan yang tidak ada antaranya tidak kelihatan? Sedangkan Tuhan itu berada "di tempat" yang terang. Dikatakan demikian, karena Tuhan itu terlindung olah Cahaya-Nya. Cahaya Tuhan lebih terang daripada segala yang terang. Mengapa Tuhan tidak kelihatan? Padahal Tuhan itu sudah NYATA ADA-NYA. Siapa tidak melihat Tuhan tidak nyata ADA-Nya, berarti zahir-batinnya masih terhijab. Orang tauhid ketika berada di mana saja, yang dipandangnya wujud Tuhan saja. Tidak ada wujud selain-Nya. Ingat hakikat tauhid: "Laa maujudun illallah." Inilah praktik orang-orang tauhid. Di mana pun berada tetap Wujud Allah dipandangnya. Sampai akhirat pun demikian. Kalau masih ada wujud makhluk dipandangnya: syirik. Masih bisa dipermainkan setan. Wujud Allah itu wujud siapa? Itulah Wujud Tuhan. Itu sebabnya jika masih ada menyebut baharu saja: syirik. Firman saja mengatakan,Qola fal haqqu wal haqqa aqulu. [Q.S. Shad:84]. Diri Tuhan yang berdoa; barulah dikabulkan.
Mengapa takut mengaku diri kita ini diri Tuhan? Yang hidup: Tuhan; yang melihat: Tuhan; yang berkata: Tuhan; yang Mendengar: Tuhan. Tuhan semualah sudah. Banyak orang berkata, bumi Tuhan, langit Tuhan, bukit Tuhan, rumah Tuhan, dan sebagainya. Nah, diri kita ini diri siapa kalau bukan diri Tuhan? Adakah ibu-bapak kita yang membuat kita? Jangankan tangan-kaki, membuat ujung hidung saja ibu-bapak kita tidak bisa. Diri kita ini bukan hasil kelakuan ibu-bapak. Tidak ada yang bisa mengelak dari fakta ini. Tetap kembalinya pada Tuhan. Perbuatan Tuhan. Di sinilah kelemahan manusia: lupa bahwa semuanya itu dari Tuhan. Orang tauhid–dalam segala apa pun–tetap tidak meninggalkan minallahi: tetap Diri Tuhan dulu yang diperhatikannya. Kalau rasa dari Tuhan ini sudah ada pada diri kita, apalagi yang akan ditakuti? Karena segala-galanya sudah dirasakannya TUHAN SAJA ADA. Tidak ada kekhawatiran sedebu pun yang ditakuti dari makhluk. Coba perhatikan, Tubuh Maharuang yang meliputi sekalian alam ini dari mana? Bahkan kita ini hidup di dalam-Nya. Bukan hanya hidup, bahkan mencari makan pun di dalam Tubuh-Nya. Coba Tubuh Maharuang ini bergerak sederajat saja: kiamat sudah. Kaji saja Tubuh Maharuang, tidak akan sesat dan tidak akan tergelincir pada kesesatan maupun pada kezindikan. Coba rasa Maharuang ini, ada rasa bersentuh tidak? Coba cium Maharuang ini, ada baunya tidak? Coba dengar Maharuang ini, ada suaranya tidak? Coba lihat Maharuang ini, ada bentuknya tidak? Coba telaah Maharuang ini, ada kanan-kiri-atas-bawahnya tidak? Coba pikir Maharuang ini, ada tempatnya tidak?
Tubuh Maharuang ini meliputi sekalian alam. Alam apa saja [Q.S. Fushilat:54]. Mengapa Tubuh yang sudah disediakan sejak 13,75 ± 0.11 miliar tahun lalu itu tidak ada yang mau memakainya? Al-Halaj mengatakan, "Ana Al-Haq." Lalu dipenggal kepalanya oleh orang-orang bodoh. Berkurun waktu setelah masa hidup Al-Halaj, baru ada orang membenarkannya. Syaik Abdul Qadir al-Jailani mengatakan,"Seandainya al-Halaj hidup sezaman denganku, takkan kubiarkan orang-orang memancungnya."
Mengapa Abdul Qadir Jailani membenarkan Halaj? Karena terbukti orang-orang yang hidup sezaman dengan Halaj tidak memperhatikan kaji Kosong | Maharuang ini. Bukti-bukti yang nyata tentang kemahaesaan Tuhan-hamba: kita tidur-bangun-makan-minum-hidup-mati ini sudah di dalam [Tubuh Kosong Maharuang] kemahaesaan Tuhan tidak? Kalau memahami dan mengenal Kemahasucian-Kemahaesaan Tuhan ini, mahasucilah juga kehambaan kita. Kalau sudah mahasuci, mahaesalah hamba dengan Tuhan. Sudah bermilyar tahun di-ada-kan, sedikit sekali manusia yang mau mengkajinya. Padahal cerita ini ada di Quran. Ikan tanpa air tidak bisa berenang. Manusia di mana berenangnya? Tentulah di Mahasuci berenangnya. Bermainlah di lautan Mahasuci ini. Banyak perolehan dari Tuhan. Inilah tempat husnul khatimah: tempat yang penuh rahmat. Apalah susahnya "masuk" di Mahasuci. Bukan pergi dengan pesawat. Tidak perlu mesin jet pula. Cukup dengan kesadaran saja bahwa keberadaan kita ini di Tubuh Mahasuci. Apabila kesadaran ber-ada di Mahasuci ini men-jadi: akan tampak segala-galanya.
-Arifbillah-
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0 Response to "CARA MENGENAL DIRI MENGENAL TUHAN juz 1 "
Post a Comment