10 wasiat sunan kali jogo
Ingin Selamat Dunia-Akhirat? Ini 10 Wasiat Kanjeng Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah salah satu tokoh Wali Songo yang sangat lekat di benak Muslim di Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan Islam ke dalam tradisi Jawa.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra Adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Konon pada saat Sunan Kalijaga bermukim di sana, dia sering berendam di sungai yang dalam Bahasa Jawa disebut kali .
Mengenai asal-usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih milik orang Arab. Sunan Kalijaga adalah orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, Kaisar Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari penguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Nabi Muhammad.
Dalam satu edisi, Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan memiliki 3 putra, yaitu R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengakhiri masa akhir kekuasaan Majapahit yang berakhir pada tahun1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, juga Kerajaan Pajang yang dimulai pada 1546 dan juga memunculkan Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Menurut cerita yang sering kita dengar, sebelum menjadi bagian dari Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan hasil bumi. Dan hasil rampokan itu ia bagikan untuk orang-orang miskin.
Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu terlihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu.
Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Namun, Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden berkata bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang memilih pohon aren emas dan mengatakan jika Raden Mengatakan ingin mendapatkan harta tanpa mendapatkan, maka ambillah buah aren emas yang diminta oleh Sunan Bonang.
Cerita singkat, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Dia pun lalu bertanya Sunan Bonang ke sungai dan berkata ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil memegang tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena itu, ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah mendukung dirinya.
Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah meminta tongkatnya yang ditancapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Dia lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu menyelesaikan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat, Sunan Bonang. Paham keagamaannya mengharuskan “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik yang dirancang pada pemujaan bebas. Ia juga memilih kesenian dan sarana sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia akan mengembalikan masyarakat yang akan datang jika diserang ditemukanannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah disetujui, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota terdiri dari kraton, alun-alun dengan dua beringin dan masjid yang dikelilingi pula oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah ini sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di membantunya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan juga Pajang. Ketika wafat, ia dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Buat ini sampai sekarang masih ramai diziarahi orang.
Lalu apa saja 10 Wasiat atau Dasa Pitutur Kanjeng Sunan Kalijaga yang masa lalu konon mencapai 100 tahun lamanya itu?
Berikut ini isi dari patut dihargai dari beliau yang layak kita renungkan dan kita buat dalam kehidupan kita, jika kita mendambakan kehidupan yang selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Pertama, Urip Iku Urup , yang bermakna Hidup itu Nyala. Maka hidup itu harusnya memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Karena lebih banyak manfaat yang bisa kita terima, tentu akan lebih baik. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mengatur tentang manusia yang paling bermanfaat bagi manusia.
Kedua, Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro , yang berarti manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak. Hal ini membantu agar setiap manusia ikut menyelamatkan bumi, langit dan seisinya, termasuk juga keselamatan dan keselamatan semua makhluk yang ada di dalamnya.
Ketiga, Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti , yang
memaksudkan semua sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, hati lembut dan sabar. Maka manusia lebih suka mengutamakan akhlakul karimah, tidak hidup di bumi dengan menganggap sombong dan tidak gemar membuat kerusakan di atas.
memaksudkan semua sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, hati lembut dan sabar. Maka manusia lebih suka mengutamakan akhlakul karimah, tidak hidup di bumi dengan menganggap sombong dan tidak gemar membuat kerusakan di atas.
Keempat, Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho , yang memungkinkan manusia untuk tetap bekerja tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa didasari kebendaan. Itulah modal manusia dalam hidup, yang senantiasa menjunjung tinggi harkat martabat bermanfaat sebagai anugerah kodrati dari Tuhan.
Kelima, Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan, yang
membantunya, manusia jangan gampang sakit hati dan ciut nyali manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala sayang kehilangan sesuatu. Karena manusia mesti senantiasa sadar, itu semua hanya milik-Nya. Dialah Sang Pemilik Sejati, sementara hanya menerima si penerima titipan belaka.
membantunya, manusia jangan gampang sakit hati dan ciut nyali manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala sayang kehilangan sesuatu. Karena manusia mesti senantiasa sadar, itu semua hanya milik-Nya. Dialah Sang Pemilik Sejati, sementara hanya menerima si penerima titipan belaka.
Keenam, Ojo Gumunan, Ojo Getunan , Ojo Kagetan, Ojo Aleman , yang mendorong semua orang untuk melakukannya; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut dan kaget; Juga jangan mudah kolokan, cengeng atau manja. Tenang, manusia mesti tak mudah euforia di kala senang dan tidak pula histeria di kala senang, senang harus tetap tenang dan tegar di segala situasi.
Ketujuh, Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan dan Kemareman , yang membantunya manusia tidak terlampau diambil, atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kenikmatan duniawi. Karena sejatinya semua itu, ibarat hanya senda-gurau belaka.
Kedelapan, Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka , yang menyenangkan manusia. Jangan suka. Agar celaka tidak. Manusia mesti selalu ingat hanya Tuhanlah yang Maha Tahu, sementara dia hanya mendapatkan karunia kepandaian dan ilmu tak lebih dari seujung kuku saja. Karena itu, sudah selayaknya manusia hidup jujur dan senantiasa teguh di jalan kebenaran.
Kesembilan, Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo , yang senang mengajaknya manusia jangan gampang tergoda dan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, dan indah; Jangan pikirkan mendua agar tidak malah kendoritmen dan semangatnya dalam komitmen. Maka manusia harus hidup qanaah dan bersahaja, merasa cukup dengan apa yang memang benar-benar dibutuhkannya. Sementara dalam berikhtiar dan komitmennya berhasil dia tetap fokus dan tidak mendua.
Kesepuluh, Ojo Adigang, Adigung, Adiguno , yang memudahkan manusia untuk berwatak sok kuasa, sok besar, sok sakti dan sok-sok lainnya. Karena seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Dan sesungguhnya, pakaian kesombongan hanya Tuhan yang pantas memakainya, bukan manusia yang sejatinya adalah budak yang tak berdaya dan hamba yang penuh cacat dan cela.
***
Itulah sepuluh puluh wasiat atau pitutur dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang dibuat oleh kita dan kita bisa kita harapkan itu kita buat dalam kehidupan di dunia, agar kita beroleh keselamatan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak.
0 Response to "10 wasiat sunan kali jogo"
Post a Comment